BAB I
PENDAHULUAN
Teori konseling merupakan upaya untuk
menjelaskan proses melalui mana seperangkat kegiatan konseling dimulai,
berkembang dan berakhir. Teori konseling dapat melayani sejumlah fungsi;
sebagai seperangkat pedoman untuk menjelaskan cara-cara manusia belajar,
berubah, dan berkembang; mengusulkan suatu model perkembangan normal dan
bentuk-bentuk ekspresi gangguan perilaku; dan apa yang perlu dilakukan dan
dapat diharapkan pada proses konseling. Singkatnya, teori konseling merupakan
peta proses konseling, serta apa yang harus dilakukan oleh orang-orang yang
terlibat dalam proses konseling untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam
konseling, kita selalu membutuhkan teori sebagai kerangka kerja guna
mengorganisasikan informasi-informasi.
Konselor perlu menggunakan teori sebagai dasar
untuk menerapkan asumsi-asumsi tentang sifat konseling dan sifat dasar manusia,
menetapkan tujuan umum konseling, menetapkan teknik atau metode yang digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut, menstrukstur peran dan tanggung jawab konselor dan klien
dalam hubungan terapeutik. Melakukan konseling tanpa teori sama halnya dengan
terbang ke planet tanpa peta dan instrumen. Di antara kesekian pendekatan
tersebut salah satunya adalah psikoanalisis klasik yang dikembangkan oleh
Sigmund Freud.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas
mengenai Sigmund Freud
Teori konseling psikoanalisis klasik
dikembangkan oleh seorang neurolog dari Wina, Sigmund Freud, pada awal tahun
1890-an. Freud lahir di Freiberg, Moravia pada tanggal 6 mei 1856. Pada awal
karirnya, Freud adalah seorang Dokter yang memiliki minat kuat pada bidang
neurologi. Pada tahun 1880 ia mulai belajar psikiatri pada Josef Breurer.
Dengan kolaborasi tersebut, freud mulai tertarik untuk belajar mengenai
gangguan neurotik beserta cara menanganinya.
Pada awal abad
20 psikoanalisis mengalami perkembangan yang pesat. Beberapa ahli yang
berpegang pada konsep Freud kemudian melakukan modifikasi sesuai dengan perkembangan ilmu
psikologi yang disebut dengan
istilah Neo-Freudians,
antara lain Carl
Jung, Otto Rank, Wilhelm Reich, Karen Horney, Theodore Reih dan Harry
Stack Sullivan. (W.S Winkel & Hastuti.
2005; 450).
B. Tingkatan
Kesadaran
Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki
tiga tingkat kesadaran, yakni sadar (conscious),
prasadar (preconscious), dan tak
sadar (unconscious).
1.
Sadar (Conscious)
Tingkat kesadaran yang berisi semua
hal yang kita cermati pada saat tertentu. Menurut Freud, hanya sebagian kecil
saja dari kehidupan mental yang masuk ke kesadaran.
2.
Prasadar (preconscious)
Berisikan
ingatan-ingatan tentang peristiwa-persitiwa masa lampau yang siap masuk ke
dalam kesadaran sewaktu-waktu diperlukan.
3.
Tidak sadar (Unconscious)
Bagian yang paling dalam dari struktur
kesadaran dan menurut Freud merupakan bagian terpenting dari jiwa manusia.
Ketidaksadaran berisi insting, impuls, dan drives yang dibawa dari lahir, dan
pengalaman-pengalaman traumatik (biasanya pada masa anak-anak) yang ditekan
oleh kesadaran dipindah ke daerah tak sadar.
C.
Stuktur Kepribadian
Struktur kepribadian
terdiri dari 3 aspek atau divisi yakni id, ego dan super Ego. Meskipun
ketiganya berbeda, namun dalam menjalankan fungsinya, ketiga aspek kepribadian
tersebut seringkali tumpang tindih dan tidak dapat menjadi entitas yang
benar-benar diskrit.
1.
Id: sistem
dasar kepribadian, libido
yang meliputi istink-instink
manusia. Di dalam id
terdapat dorongan-dorongan instingtif yang cenderung primitif dan menimbulkan
ketegangan karena menuntut untuk dipenuhi. Untuk memuaskan dorongan-dorongan,
id menggunakan dua mekanisme yakni tindakan refleks dan proses primer. Tindakan
refleks berisikan tindakan-tindakan otomatis, seperti mengedipkan mata, menarik
tangan ketika menyentuh benda panas, dan batuk. Proses primer melibatkan
tindakan yang lebih kompleks yang mengarahkan manusia untuk membentuk suatu
imej mental seperti impian, khayalan, lamunan atau fantasi.
2.
Ego: adalah aspek kepribadian yang berada dalam kesadaran. Ia berfungsi
untuk membantu id memenuhi dorongan-dorongannya secara nyata dan bukan hanya
sekedar membayangkan atau melamun. Ego bukan merupakan bawaan namun terdiferensiasi
dari id ketika anak berkembang menjadi matang.
3. Super ego. Superego
adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai
prinsip idealistik (idealistic principle)
sebagai lawan dari prinsip kepuasan Id dan prinsip realistik dari Ego. Menurut Freud super ego dibentuk dari 2
subsistem :
a)
Kata hati/hati nurani:
apa yang seharusnya
tidak dilakukan oleh
individu
b)
Ego-ideal: apa
yang seharusnya saya
menjadi prinsip: moral dan
kesempurnaan.
D.
Perkembangan Kepribadian
Menurut freud, perkembangan
kepribadian sehat-tidak sehat sangat berhubungan dengan cara-cara yang
digunakan oleh individu dalam melewati fase-fase perkembangannya. Freud berpandangan bahwa konsep dasar yang mempengaruhi
perkembangan kepribadian individu adalah
pada usia 5 (lima) tahun pertama (litama), kemudian periode tenang, dan aktif kembali pada
periode remaja (adolesen). Pada
setiap periode perkembangan dari bagian tubuh tertentu yang menjadi pusat
kepuasan diri. Freud membagi tahap perkembangan sebagai berikut:
1.
Fase
Oral 0
sampai kira 1 tahun. Pada fase ini mulut merupakan daerah pokok
aktivitas dinamik atau daerah kepuasan seksual yang dipilih oleh insting
seksual. Tahap ini secara khusus ditandai oleh berkembangnya perasaan
ketergantungan, mendapat perlindungan dari orang lain, khususnya ibu.
2.
Fase
anal: kira-kira 1 tahun sampai kira-kira 3 tahun. Pada fase ini dubur merupakan
daerah pokok aktivitas dinamik, kateksis, dan antikateksis berpusat pada fungsi
eliminer (pembuangan kotoran). Freud yakin toilet training adalah bentuk mula
dari belajar memuaskan id dan superego sekaligus, kebutuhan id dalam bentuk
kenikmatan sesudah defekasi dan kebutuhan superego dalam bentuk hambatan sosial
atau tuntunan sosial untuk mengontrol kebutuhan defekasi. Semua bentuk kontrol diri
(self control) dan penguasaan diri (self mastery) berasal dari fase anal.
3.
Fase
Phallis; 3 tahun sampai 5 atau 6 tahun.
Pada fase
ini alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting. Masturbasi menimbulkan
kenikmatan yang besar. Pada saat yang sama terjadi peningkatan gairah seksual
anak kepada orang tuanya yang mengawali berbagai pergantian kateksis obyek yang
penting. Perkembangan terpenting pada masa ini adalah timbulnya Oedipus
complex, yang diikuti fenomena castration anxiety (pada laki-laki) dan penis
envy (pada perempuan).
Oedipus
kompleks adalah kateksis obyek seksual kepada orang tua yang berlawanan jenis
serta permusuhan terhadap orang tua sejenis. Pada mulanya, anak (laki dan
perempuan) sama-sama mencintai ibu yang telah memenuhi kebutuhan mereka dan
memandang ayah sebagai saingan dalam merebut kasih sayang ibu. Pada anak
laki-laki, persaingan dengan ayah berakibat anak cemas kalau-kalau ayah memakai
kekuasaannya untuk memenangkan persaingan merebut ibunya. Dia cemas penisnya
akan dipotong oleh ayahnya yang disebut cemas dikebiri atau castration anxiety.
Kecemasan ini mendorong anak laki-laki mengidentifikasi ayahnya. Ketakutan ini
juga menyebabkan ditekannya keinginan seksual terhadap ibu dan rasa permusuhan
terhadap ayahnya. Pada anak perempuan rasa sayang kepada ibu berubah menjadi
kecewa dan benci ketika tahu kelaminnya berbeda dengan anak laki-laki. Ibunya
dianggap bertanggung jawab terhadap kastrasi kelaminnya, sehingga anak
perempuan mentransfer cintanya kepada ayahnya yang memiliki organ berharga
(yang juga ingin dimilikinya). Tetapi perasaan cinta itu bercampur dengan
perasaan iri penis (penis envy) baik kepada ayah maupun kepada laki-laki secara
umum. Oedipus kompleks pada wanita tidak direpres, cinta kepada ayah tetap
menetap walaupun mengalami modifikasi karena hambatan realistik pemuasan
seksual itu sendiri.
4.
Fase
laten: 5 tahun sampai usia remaja. Pada tahapan ini anak laki-laki dan
perempuan menekam semua isu-isu oedipal dan kehilangan minat seksualnya. Sebaliknya
mereka melibatkan diri pada kelompok bermain yang berjenis kelamin sama.
5.
Fase
Puberitas. Fase ini dimulai dengan perubahan
biokimia dan fisologi dalam diri remaja. Sistem endokrin memproduksi
hormon-hormon yang memicu pertumbuhan tanda-tanda seksual sekunder (suara,
rambut, buah dada, dll), dan pertmbuhan seksual primer. Pada fase ini impuls
seks mulai disalurkan ke obyek di luar, seperti; berpartisipasi dalam kegiatan
kelompok, menyiapkan karir, cinta lain jenis, perkawinan dan keluarga. Pada fase
falis, kateksis genital mempunyai sifat narkistik terjadi perubahan dari anak
yang narkistik menjadi dewasa yang berorientasi sosial, realistik, dan
altruistik.
E.
Mekanisme Pertahanan Diri
Terapi psikoanalisis berusaha membantu individu untuk mengatasi ketegangan
psikis yang bersumber pada
rasa cemas dan rasa terancam yang
berlebih-lebihan (anxiety). Menurut pandangan
Freud, setiap setiap manusia didorong-dorong oleh kekuatan-kekuatan
irasional di dalam dirinya sendiri, oleh motif-motif yang tidak disadari
sendiri, dan oleh kebutuhan-kebutuhan
alamiah yang bersifat biologis
dan naluri. (W.S Winkel & Hastuti, 2005: 450).
Bilamana beraneka dorongan itu
tidak selaras dengan apa yang diperkenankan serta diperbolehkan
menurut kata hati atau kode moral seseorang, timbul ketegangan psikis yang
disertai kecemasan dan ketenangan tinggi.
Kalau seseorang tidak berhasil mengontrol dan membendung kecemasan itu dengan
suatu cara yang rasional dan
realistis, dia akan menggunakan
prosedur yang irasional dan
tidak realistis, yaitu
menggunakan salah satu mekanisme
pertahanan diri demi menjaga
keseimbangan psikis dan rasa harga
diri.
Adapun bentuk pertahanan diri (defense mechanism) (Prayitno :
1998, 44) tersebut adalah:
1.
Identifikasi: menyatukan ciri-ciri
orang lain kedalam
kepribadian sendiri
2.
Displacemen: mengalihkan perhatian
dari satu objek ke objek yang lain, melalui: kompensansi dan
sublimasi
3.
Represi: menolak atau
menekan dorongan-dorongan
yang muncul dengan
cara tidak mengakui adanya
dorongan itu
4.
Proyeksi: melemparkan keadaan
diri ( misalnya kecemasan) kepada orang atau subjek lain
5.
Reaksi Formasi: mengganti dorongan
yang muncul dengan hal-hal yang sebaliknya.
6.
Fiksasi: terpaku pada satu tahap
perkembangan karena takut memasuki tahap perkembangan berikutnya.
7.
Regresi: kembali ke tahap perkembangan
sebelumnya
F. Tujuan
dan Teknik Konseling
Tujuan konseling menurut
psikoanalisis klasik (Prayitno: 1998, 44) adalah:
1.
Membawa ke ksad dorongan-dorongan
yang ditekan (ksad) yang mengakibatkan kecamasan
2.
Memberikan kesempatan kepada
klien menghadapi situasi yang selama ini ia gagal mengatasinya
Menurut Baker
(dalam Eko Darminto, 2007:31) tujuan konseling psikoanalisa antara lain:
1.
Meningkatkan
kesadaran dan kontrol ego terhadap impuls-impuls dan berbagai bentuk dorongan
naluriah yang tidak rasional, serta menekan kecemasan.
2.
Memperkaya
sifat dan macam mekanisme pertahanan ego sehingga lebih efektif, lebih matang,
dan lebih dapat diterima.
3.
Mengembangkan
perspektif yang lebih berlandasakan pada assessment
realitas yang jelas dan akurat yang mendorong penyesuaian.
4.
Mengembangkan
kemampuan untuk membentuk hubungan yang akrab dan sehat dengan cara yang
menghargai hak-hak pribadi dan orang lain.
5.
Menurunkan
sifat perfeksionis, rigid (kaku), dan punitive (menghukum).
Adapun
Teknik dasar dalam konseling psikoanalisis klasik adalah sebagai berikut:
1.
Asosiasi bebas yakni memberikan kesempatan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya kepada klien
untuk mengemukakan/ mengungkapkan apa yang terasa, terpikir, teringat dan ada
pada dirinya.
2.
Tranferensi yakni mengarahkan
perasaan-perasaannya (yang tertekan)
kepada ko dengan mengandaikan ko itu adalah subjek yang menyebabkab perasaan
tertekan itu:
3.
Interpretasi yakni membawa klien memahami dan menghadapi dunia nyata, melalui
pemikiraan yang objektif memperkuat
fungsi ego.
G.
Aplikasi Teori Psikoanalisis Klasik dalam Bimbingan dan Konseling
Praktik
konseling psikoanalisis sebagaimana yang dilakukan oleh Freud dan para praktisi
modern psikoanalisis pada umumnya merupakan suatu proses yang panjang dan
intensif. Konselor dan klien melakukan pertemuan sebanyak tiga hingga lima kali
dalam seminggu selama tiga hingga lima tahun (Eko Darminto, 2007:31).
Setiap pertemuan dapat berlangsung selama 55 menit dengan lima menit untuk
break setiap sesi. Dalam proses ini, konselor membawa klien mencapai keadaan
rileks dan bersikap netral dan seanonim mungkin. Sikap ini penting untuk mendorong
terbentuknya transferen.
Apabila menyimak
konsep kunci dari teori kepribadian Sigmund Freud, maka ada beberapa teorinya
yang dapat aplikasikan dalam bimbingan, yaitu:
1.
Konsep kunci bahwa ”manusia adalah
makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan”. Konsep ini dapat dikembangkan dalam proses
bimbingan, dengan melihat hakikatnya manusia itu memiliki kebutuhan-kebutuhan
dan keinginan-keinginan dasar. Dengan demikian konselor dalam memberikan
bimbingan harus selalu berpedoman kepada apa yang dibutuhkan dan yang
diinginkan oleh konseli, sehingga bimbingan yang dilakukan benar-benar efektif.
2.
Konsep kunci tentang “kecemasan”
yang dimiliki manusia dapat digunakan sebagai wahana pencapaian tujuan
bimbingan, yakni membantu individu supaya mengerti dirinya dan
lingkungannya; mampu memilih, memutuskan dan merencanakan hidup secara
bijaksana; mampu mengembangkan kemampuan dan kesanggupan, memecahkan masalah
yang dihadapi dalam kehidupannya; mampu mengelola aktivitasnya sehari-hari
dengan baik dan bijaksana; mampu memahami dan bertindak sesuai dengan norma
agama, sosial dalam masyarakatnya. Dengan demikian kecemasan yang dirasakan akibat
ketidakmampuannya dapat diatasi dengan baik dan bijaksana. Karena menurut Freud
setiap manusia akan selalu hidup dalam kecemasan, kecemasan karena manusia akan
punah, kecemasan karena tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan dan banyak
lagi kecemasan-kecemasan lain yang dialami manusia, jadi untuk itu maka
bimbingan ini dapat merupakan wadah dalam rangka mengatasi kecemasan.
3.
Konsep psikoanalisis yang
menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil) terhadap perjalanan manusia. Walaupun banyak para
ahli yang mengkritik, namun dalam beberapa hal konsep ini sesuai dengan konsep
pembinaan dini bagi anak-anak dalam pembentukan moral individual. Dalam sistem
pembinaan akhlak individual, Islam menganjurkan agar keluarga dapat melatih dan
membiasakan anak-anaknya agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan norma agama
dan sosial. Norma-norma ini tidak bisa datang sendiri, akan tetapi melalui proses
interaksi yang panjang dari dalam lingkungannya. Bila sebuah keluarga mampu
memberikan bimbingan yang baik, maka kelak anak itu diharapkan akan tumbuh
menjadi manusia yang baik.
4.
Teori Freud tentang “tahapan
perkembangan kepribadian individu” dapat digunakan dalam proses bimbingan, baik
sebagai materi maupun pendekatan. Konsep ini memberi arti bahwa materi, metode
dan pola bimbingan harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kepribadian
individu, karena pada setiap tahapan itu memiliki karakter dan sifat yang
berbeda. Oleh karena itu konselor yang melakukan bimbingan haruslah selalu
melihat tahapan-tahapan perkembangan ini, bila ingin bimbingannya menjadi
efektif.
5.
Konsep Freud tentang
“ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses bimbingan yang dilakukan
pada individu dengan harapan dapat mengurangi impuls-impuls dorongan Id yang
bersifat irrasional sehingga berubah menjadi rasional.
H. Kontribusi
dan kritik
Barangkali sumbangan paling penting dari
konseling psikoanalisis adalah pemikiran freud tentang perkembangan manusia.
Dari teorinya tentang perkembangan manusia, kita mengetahui pentingnya
pengalaman masa kanak-kanak, memahamai peran seksualitas dalam perkembangan,
mengakui pengaruh figure orang tua dalam kehidupan kita, mengakui bahwa impian
dan keselip lidah seringkali memiliki makna, menerima keberadaan
ketidaksadaran, dan mengakui bahwa konflik-konflik internal seringkali terjadi
dalam kepribadian kita. Kita juga mengakui bahwa proses konseling dapat menjadi
wahana untuk membuat perubahan yang positif. Terlepas dari apakah kita setuju
atau menolak pemikiran Freud, ia menjadi ahli pertama yang telah membuat kita menjadi
paham tentang perkembangan ilmu psikologi dan konseling (psikologi terapi).
Satu keterbatasan yang paling menonjol dari
psikoanalisis dapat dikemukakan pada proses perlakuan terapeutiknya yang
panjang dan melelahkan. Praktik konseling psikoanalisis seringkali dihindari
karena dipandang terlalu banyak mengkonsumsi waktu, tenaga, dan biaya.
Pendekatan ini juga dipandang tidak dirancang untuk membantu orang-orang yang
memiliki masalah yang paling urgen dan kurang memberikan perhatian pada
pengaruh latar belakang budaya, serta kurang mengembangkan gaya hidup orang
dewasa yang sehat. Dukungan penelitian tentang pendekatan ini juga sangat
terbatas.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teori konseling psikoanalisis digolongkan ke
dalam pendekatan psikodinamik, afektif, atau konstekstual. Asumsi penting dari
teori ini adalah bahwa perilaku manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan
atau instink-instink yang tidak disadari, dan bahwa gangguan perilaku yang
dialami oleh manusia pada saat sekarang berkaitan dengan pengalaman
kehidupannya di masa lampau, khususnya peristiwa-peristiwa traumatik yang
dialami pada masa kanak-kanak serta kompleks terdesak. Kompleks terdesak adalah
sekumpulan gerak hati dan dorongan-dorongan yang tidak diterima atau dipenuhi
dan yang kemudian ditekan ke alam bawah sadar. Proses konseling psikoanalisa
diarahkan pada upaya mengungkap materi-materi kompleks terdesak dan kemudian
membawanya ke alam bawah sadar untuk disadari oleh individu. Ini dilakukan
dengan cara mengajak klien berbicara, mendorong transferen, menggunakan teknik
kontraferensi, asosiasi bebas, serta analisis dan intrepetasi. Kita memiliki
akses untuk memecahkan kesulitannya hanya jika ia mampu memperoleh insight
tentang hubungan antara kesulitannya dengan materi-materi kompleks terdesak dan
pengalaman masa kecilnya.
B.
Saran
Mengingat pendekatan merupakan aspek penting
dalam pelaksanaan proses konseling, oleh sebab itu bagi calon konselor, dosen,
konsultan dan peneliti sangat disarankan untuk memahami secara baik mengenai
pendekatan-pendekatan tersebut.
KEPUSTAKAAN
Eko Darminto. 2007.
Teori-teori Konseling: Teori dan Praktik
Konseling dari Berbagai Orientasi Teoritik dan Pendekatan. Surabaya: Unesa
University Press.
Hansen, James C. 1977. Couseling Theory and Proses. (Second Edition)
Atlantic Avenue; Boston
Kusmawati Hatta. 2010. Sekilas Tentang Teori Kepribadian Sigmund Freud dan
Aplikasinya Dalam Proses Bimbingan.
Jurnal Lipi, (Online), (http://isjd.pdii.lipi.go.id/indeks.php/Search.html?act=tampil&id=443&idc=38, diakses 6 Februari 2013).
Prayitno. 1998. Konseling
Panca Waskita, PSBK. FIP IKIP Padang
Sumadi Suryabrata. 1993. Psikologi Kepribadian, Grafindo Persada;
Jakarta
WS. Winkel & M.M Sri Hastuti. 2005). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Media Abdi; Yogyakarta
assalamualaikum bpk eko, ini wanda pratama dari bki 5e
BalasHapussaya mau tanya bagaimana cara mengolah AUM pak ???
makasih sebelumnya pak
nice artikelnya gan, sangat bnagus.
BalasHapusjangan lupa kunjungi kembali website kami ya gan ^^
Look at the way my partner Wesley Virgin's tale begins with this shocking and controversial VIDEO.
BalasHapusAs a matter of fact, Wesley was in the army-and shortly after leaving-he unveiled hidden, "MIND CONTROL" secrets that the CIA and others used to get whatever they want.
These are the EXACT same secrets many celebrities (notably those who "became famous out of nothing") and elite business people used to become rich and successful.
You've heard that you use only 10% of your brain.
Mostly, that's because the majority of your brainpower is UNCONSCIOUS.
Maybe that thought has even occurred IN YOUR very own mind... as it did in my good friend Wesley Virgin's mind about 7 years back, while driving an unlicensed, beat-up bucket of a vehicle with a suspended driver's license and with $3 on his banking card.
"I'm very frustrated with living check to check! When will I get my big break?"
You took part in those conversations, ain't it right?
Your very own success story is going to be written. You just need to take a leap of faith in YOURSELF.
CLICK HERE TO LEARN WESLEY'S SECRETS