Pages

Sabtu, 09 April 2011

Hubungan Politik dan Keagamaan antara kerajaan Islam di Nusantara


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Ketika entitas politik Islam terbentuk  pada akhir abad ke-13, dengan tegaknya kerajaan Samudera Pasai, maka  pemakaian kosa kata politik Islam pun semakin meluas pula. Seperti telah dikemukakan, terbentuknya institusi-institusi  politik di Nusantara selalu diawali oleh masuk Islam-nya raja-raja lokal, lalu diikuti para elite dan rakyat. Maka begitulah, "kerajaan" pun segera berubah menjadi "kesultanan", sedangkan sang "raja" mendapat julukan "sultan" atau "malik", di samping sebutan "raja" itu sendiri. Perubahan ini, menurut Azra, boleh dibilang lancar-lancar saja, seperti tampak pada kasus penguasa Pasai, Merah Silu, yang kemudian menjadi Sultan Malik al-Shalih itu.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan di bahas mengenai hubungan politik dan keagamaan antara kerajaan Islam di Nusantara.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas di sini adalah:
1.      Pengertian Politik dan keagamaan
2.      Pola-pola Pembentukan Kerajaan Islam di Nusantara
3.      Islam dan Negara di Indonesia
4.      Hubungan Politik dan Keagamaan antara kerajaan Islam di Nusantara

C.     Landasan Masalah
Makalah ini didasarkan dari buku-buku yang mempelajari tentang Sejarah Peradaban Islam dan khususnya mengenai Hubungan Politik dan Keagamaan antara Kerajaan Islam di Nusantara.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Politik dan keagamaan
            Politik diambil dari kata “Polis” yang artinya dalam bahasa Yunani kuno “Kota atau City”. Dan “kota” dalam bahasa itu adalah Negara yang berkuasa, menurut istilah sekarang.[1] Sedangkan menurut bahasa Inggris, kata politik berasal dari kata politic adalah yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.[2] Kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti,[3] yaitu Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu Ilmu Politik.
            Sedangkan menurut Istilah,  Deliar Noer mengatakan bahwa politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[4] Miriam Budiardjo mengatakan pada umumnya politik itu merupakan bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.[5]
            Agama merupakan keyakinan atau kepercayaan. Keagamaan di Indonesia lebih sering dikatakan dengan Islam. Karena mayoritas agama di Indonesia adalah Islam. Di dalam Islam, agama merupakan pegangan atau pedoman yang dijadikan setiap orang sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Pola-pola Pembentukan Kerajaan Islam di Nusantara
            Masuknya
            Menurut Taufik Abdullah, ada tiga pola dalam proses pembentukan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, ketika Samudera Pasai berdiri pada abad ke-13 sampai abad ke-17 ketika kerajaan Gowa-Tallo resmi masuk Islam.[6]
  1. Pola Samudera Pasai. Lahirnya Kerajaan  Samudera  Pasai berlangsung melalui perubahan  dari negara  yang segmenter,  atau mereuah menurut istilah Bustanus Salatin, ke negara yang  terpusat. Di sini proses Islamisasi sejalan dengan proses pembentukan kerajaan terpusat, yang menggantikan kerajaan segmenter. Sebagaimana halnya sebuah kerajaan baru, Samudera Pasai tidak saja berhadapan dengan golongan-golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman , tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga. Dalam proses perkembangannya menjadi negara terpusat, Samudera Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Pola dari negara segmenter menjadi negara terpusat, juga diambil oleh Aceh Darussalam, yang setelah membebaskan diri dari Piddie, kemudian mengalahkan Samudera Pasai pada tahun 1524. Kecenderungan historis yang sama juga diperlihatkan oleh Sulu dan Manguindanao.
  2. Pola Melaka. Baik Sejarah Melayu maupun laporan  Portugis memperlihatkan bahwa Islamisasi Malaka dimulai setelah para pedagang Islam dan para "mullah" berhasil mengislamkan keluarga kerajaan atau, bisa juga raja mengambil inisiatif untuk menjadikan dirinya penganut Islam. Dengan kata lain, proses Islamisasi berlangsung dalam satu struktur negara yang, seperti dikatakan dalam Sejarah Melayu, telah memiliki basis legitimasi geneologis. Pola Islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan juga dapat ditemukan di kota-kota pelabuhan yang lain. Ternate dan Gowa-Tallo diislamkan oleh masyarakat dagang masing-masing, yang jumlah serta peran politiknya terus berkembang.
Tidak seperti di Samudra Pasai, Islamisasi di Malaka, Gowa-Tallo dan sebagainya, tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. Islam tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi kekuasaan, seperti umpamanya  yang terjadi di Samudra Pasai. Konversi agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dulu. Dari perbandingan beberapa tipe Islamisasi dan pembentuknya negara ini, menurut Taufik Abdullah,  muncul dua pola yang menonjol. Yang pertama adalah situasi di mana Islam memainkan peranan dalam pembentukan negara. Yang kedua adalah keadaan di mana Islam harus menghadapi masalah akomodasi struktural. Tetapi dalam kedua pola perpindahan agama tersebut, negara, baik yang berupa kadipaten-kadipaten yang terletak di pinggir-pinggir sungai maupun kerajaan maritim yang relatif terpusat, berperan sebagai "jembatan penyebrangan" Islamisasi bagi wilayah sekitarnya.
  1. Pola Jawa. Di sini Islam tampaknya tidak punya kebebasan untuk memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan, sebagaimana di Pasai. Soalnya jelas: Islam sudah harus berhadapan dengan sistem politik dan kekuasaan yang sudah lama mapan, dengan pusatnya keraton Majapahit. Benar, komunitas pedagang muslim sudah mendapat tempat di pusat-pusat politik pada abad ke-11 dan kemudian membesar pada abad ke-14. Tapi baru abad ke-14 komunitas itu menjadi ancaman yang serius bagi keraton pusat.  Ini pun setelah Majapahit melemah, menyusul konflik internal keluarga kerajaan dan berbagai pemberontakan lokal.
Syahdan, situasi yang runyam di pusat keraton itulah, yang membuka peluang kepada pada para saudagar kaya di berbagai kabupaten di wilayah pesisir untuk menjauh dari kekuasaan raja. Berbekal keuntungan besar dari perdagangan internasional, para pedagang besar itu tidak saja masuk Islam, tapi juga membangun komunitas-komunitas politik yang independen. Maka begitulah, kita kemudian mengenal Demak, Jepara, Rembang, Tuban, Gresik dan Surabaya, tampil sebagai pusat-pusat perdagangan, aktivitas agama dan politik. Sesudah keraton pusat menjadi goyah, maka keraton-keraton kecil mulai bersaing untuk menggantikan keraton pusat dan Demaklah akhirnya yang menggantikan. Kerajaan ini, dengan posisinya barunya itu, tidak saja memegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi "jembatan penyeberangan" Islam yang paling penting di Jawa.[7] Walaupun mencapai keberhasilan politik dengan cepat dan mainkan peran sebagai "jembatan penyebrangan" keagamaan paling penting, Demak tidak mempunyai kebebasan struktural. Sebagai pengganti keraton pusat, Majapahit, Demak tidak saja harus menghadapi masalah legitimasi politik, tetapi juga panggilan kultural untuk kotinuitas. Dilema kultural dari dominasi politik Islam di dalam suasana tradisi Ciwa-Budhistik, dengan konsep kesusastraan yang konsentrik, telah jauh menukik ke dalam kesadaran, menjadi lebih jelas setelah keraton dipindahkan oleh anak angkat Sultan Trenggana, Jaka Tingkir, ke Pajang di pedalaman Kerajaan.

C.     Islam dan Negara di Indonesia
Politik ini berdasarkan agama, sedangkan agama di Indonesia mayoritas adalah Islam. Maka politik yang berdasarkan Islam tidaklah terdapat “Tipu Muslihat dan Kelicikan”. Yang ada hanya budi pekerti yang luhur yang sesuai dengan arti dari pada Islam, isinya, sasarannya dan pesan-pesannya.
Islam tidak menerima tipudaya selain di dalam perang yang sifatnya mencari kemenangan dalam melawan musuh yang kejam dan penuh khianat, tipu daya dan kelicikan akal.[8]
Sejarah Indonesia memperlihatkan pola hubungan yang khas antara agama dan negara. Kerajaan-kerajaan besar yang pernah menghiasi sejarah Indonesia memperlihatkan pola hubungan ini. Kerajaan Mataram pertama dengan agama Hindu, Sriwijaya dengan agama Budha, Majapahit dengan Hindu Siwa. Relasi kuasa antara agama dan kerajaan menunjukkan hubungan yang saling memberikan legitimasi secara simbiotik.
Pengalaman Islam juga memperlihatkan hal yang sama. Taufik Abdullah (1989) mencatat empat pola hubungan antara Islam dengan negara dalam sejarah Indonesia, yaitu :[9]
  1. Tumbuhnya kerajaan Islam dari kampung-kampung kecil yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota dan akhirnya menjadi pusat-pusat kerajaan, seperti Perlak dan Samudera Pasal di Aceh. Di Aceh belum ada komunitas agama pada waktu Islam masuk. Dari kampung-kampung Islam Itu kemudian berkembang menjadi kerajaan besar, khususnya di bawah Sultan iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Ketika Itu hukum agama menjadi hukum negara. Tidak ada konflik antara hukum agama dan hukum adat, karena memang hukum adat tidak ada.
  2. Adalah pola yang terjadi di Sumatera Barat. Ketika Islam datang sudah ada hukum adat. Konflik dan perang pernah terjadi selama 16 tahun yang dikenal dengan Perang Paderi. Perang itu kemudian diakhiri dengan penyelesaian bahwa keduanya diakui secara formal dalam kalimat adat bersendi syara' dan syara' bersendi Kitabullah. Eksistensi hukum adat diakui sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, tetapi dalam kenyataan tidak dapat berjalan sepenuhnya. Terutama dalam pembagian waris, seorang ninik mamak tetap membagi waris secara adat, dan tidak selalu sepenuhnya sebagaimana diatur dalam hukum Islam.
  3. Pola ketika Kerajaan Gowa, yang kini diteruskan oleh Kesultanan di Semenanjung Malaysia. Sebelum kedatangan Islam sudah ada kerajaan yang kuat yang menggunakan adat Istiadat dan hukum pra-lslam. Islam datang melalui para pedagang dan ulama. Islam masuk keraton secara bertahap melalui perkawinan dan aliansi-aliansi ekonomi. Akhirnya menghasilkan kerajaan yang diislamkan secara berangsur-angsur dengan tidak mematikan unsur-unsur pra-lslam. Dalam proses penyerapan ini tidak terdapat konflik berkekerasan, karena keduanya berjalan seiring. Ajaran Islam diakui dan ajaran sebelumnya tetap berjalan.
  4. Pola Jawa. Sebelum Islam datang, kerajaan- kerajaan di Pulau Jawa telah memiliki tradisi yang kuat dalam bentuk Hindu-Budha yang digabung dengan kepercayaan sebelum agama-agama ini datang, yang kini dianggap sebagai budaya Jawa asli. Budaya Jawa asli Ini diberi kedudukan yang tinggi di kerajaan. Pada waktu Islam datang, Islam diberi tempat untuk memperkuat legitimasi kerajaan dan kedudukannya sama dengan budaya Jawa asli Ketika Negara Republik Indonesia berdiri, penentuan dasar negara menjadi ajang perdebatan yang melelahkan. Setidaknya ada dua kubu yang bertentangan, yaitu kubu yang menghendaki Islam sebagal dasar negara atau menghendaki negara Islam dan pihak yang menghendaki Indonesia menjadi negara kesatuan nasional yang memisahkan agama dan dari negara. Pertentangan itu diselesaikan dengan jalan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Ditegaskan pula bahwa asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 mencerminkan asas tauhid (keesaan Tuhan) dalam Islam.
Untuk mengisi kekosongan legitimasi keagamaan yang dianggap penting untuk menjamin kemungkinan terlaksananya hukum Islam, dibentuklah Kementerian Agama (kini Departemen Agama). Terbentuknya lembaga ini tidak diragukan lagi melanjutkan tradisi kelembagaan agama yang pernah terjadi di masa-masa sebelumnya, bahkan semenjak kerajaan Islam dahulu. Departemen Agama merupakan jawaban atas problem kerajaan mengenai hubungan agama dan negara.
Untuk mengelola kehidupan umat beragama, negara mengeluarkan kebijakan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 1 tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya, serta Surat Keputusan (SK) Menteri Agama No. 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama. Menteri Agama saat itu dijabat oleh Alamsyah Ratu Prawiranegara. Surat keputusan ini merekomendasikan kepada pemerintah daerah dan Departemen Agama setempat untuk membimbing, mengarahkan, dan mengawasi, serta menyelesaikan pertentangan yang mungkin timbul secara adil dan tidak memihak. Kebijakan ini merupakan cermin campur tangan negara terhadap kehidupan umat beragama.
Di awal-awal kemerdekaan, sekelompok orang Islam yang tidak setuju dengan kebijakan politik pemerintah menempuh jalan kekerasan, misalnya Darul Islam, Tentara Islam Indonesia. Ada pula sekelompok orang Islam yang menempuh jalan legal melalui proses politik di parlemen, seperti yang dilakukan oleh Partai Masyumi. Kedua kelompok itu mencoba terus memperjuangkan agar Islam merupakan nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Kedua kelompok itu mendapat pertentangan yang keras, baik dari pemerintah maupun Konstituante. Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena tokoh- tokohnya, seperti Syafruddin Prawiranegara dan Muhammad Natsir bergabung dengan PRRI. Hubungan antara Islam dan negara pada masa ini oleh Affen Gafar (1993) disebut sebagai hubungan yang antagonistik. Hubungan yang antagonis menjadi pemicu konflik antara pemerintah dan umat Islam.

D.     Hubungan Politik dan Keagamaan antara kerajaan Islam di Nusantara
            Hubungan antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lainnya pertama-tama memang terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada mulanya, mengambil bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Demikianlah misalnya antara Giri dengan daerah-daerah Islam di Indonesia bagian Timur, terutama Maluku. Adalah dalam rangka penyebaran Islam itu pula, Fadhilah Khan dari Pasai datang ke Demak, untuk memperluas wilayah kekuasaan ke Sunda Kelapa.
            Dalam bidang politik, agama pada mulanya dipergunakan untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik maupun ekonomi. Persekutuan antara Demak dengan Cirebon dalam menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa dapat diambil sebagai contoh. Contoh lainnya adalah persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi Portugis dan Kompeni Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan.
            Meskipun demikian, kalau kepentingan politik dan ekonomi antar kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin bahwa permusuhan tidak ada. Peperangan di kalangan kerajaan-kerajaan Islam sendiri sering terjadi. Misalnya, antara Pajang dan Demak, Ternate dan Tidore, Gowa-Tallo dan Bone. Oleh karena kepentingan yang berbeda di antara kerajaan-kerajaan itu pula, sering satu kerajaan Islam meminta bantuan pada pihak lain, terutama Kompeni Belanda, untuk mengalahkan kerajaan Islam yang lain.
            Hubungan antar kerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak dalam bidang budaya dan keagamaan. Samudera Pasai dan kemudian Aceh yang dikenal dengan Serambi Makkah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini ajaran-ajaran Islam tersebar keseluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya ulama dan murid-muridnya yang menuntut ilmu ke sana. Demikian pula halnya dengan Giri di Jawa Timur terhadap daerah-daerah di Indonesia bagian timur. Karya-karya sastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Tema dan isi-isi karya itu sering kali mirip antara satu dengan yang lain. Kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.[10]
            Perdebatan antara hubungan Islam dan politik tidak akan pernah berhenti, baik itu di dunia Islam maupun di Indonesia. Di Indonesia, relasi antara Islam dan politik sudah ada semenjak Islam masuk, akan tetapi perdebatan yang sistematis baru terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Dimana perdebatan itu begitu vulgar ketika diadakannya rapat BPPUPKI dan memuncak dengan keluarnya piagam Jakarta. Namun, pada akhirnya hubungan antara Islam dan politik dalam bentuk formal tidak terealisasi dalam konstitusi Indonesia, sehingga jalan alternatifnya adalah terbentuklah Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia.
Pancasila yang bernafaskan sekuler ini sudah menjadi postulat politik bagi system politik di Indonesia, sehingga terasa tidak ada ruang lagi bagi Islam politik di Indonesia. Jika ada itu pun hanya sebatas pada tatanan subtansi bukan pada tatanan formalitas. Jadi eksistensi Islam politik Indonesia masih tahap dialektika dalam kekangan ideologi Pancasila.
Namun, cita-cita untuk mendirikan Negara Islam akan tetap selalu ada di masyarakat Indonesia. Tetapi pilihan untuk sekulerisme bukan merupakan pilihan yang buruk untuk Indonesia dalam menanggapi relasi antara Islam dan politik.
Disisi lain, peranan partai politik terutama partai-partai Islam akan tetap menghiasi perdebatan politik Islam di Indonesia. Sehingga partai-partai Islam bisa jadi indicator bahwa politik Islam tetap eksis di Indonesia.
Hubungan antara politik dan keagamaan atau politik dan Islam dengan kata lain, politik dalam Islam yang berarti ada negara dan pemerintahan dalam Islam.




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran politik Islam juga pada dasarnya terpenjara pada tiga mazhab besar. Hampir-hampir seluruh artikulasi pemikiran politik Islam tidak lepas dari bayang-bayang pemikiran bahwa, Islam dan politik itu tidak bisa dipisahkan,  Islam dan politik itu bisa dipisahkan; dan Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-formalistik, tetapi substansialistik.
Ketiga mazhab tersebut dalam system politik di Indonesia. Pertama, Untuk konteks Indonesia sangat sulit untuk menghilangakan harapan-harapan dari aktivis politik Islam untuk mendirikan Negara Islam. Karena mereka menganggap bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Kedua, apabila pemisahan agama (Islam) dan politik di Indonesia dipahami dalam konteks sekulerismenya Kristen dan barat maka konsep tersebut tidak sesuai untuk budaya Indonesia. Untuk itu perlu konsep sekuler yang cocok dengan kultur di Indonesia, salah satunya adalah konsep sekulerisme yang ditawarkan oleh An Naim. Ketiga, golongan inilah yang banyak bermain dalam percaturan politik Islam di Indonesia pada saat sekarang ini, terutama dalam partai-partai Islam. Keberadan partai Islam ini kembali menghidupkan kembali atmosfir politik Islam di Indonesia. Tetapi tidak sedikit pula para aktivis politik Islam yang memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingan pribadi mereka.

B. Saran
Setelah melalui studi pustaka, banyak penafsiran-penafsiran serta pendapat yang berbeda dan itu semua tidak lepas dari sifat fitrah dari penulis sebagai manusia yang memiliki banyak keterbatasan. Jadi maklumlah kiranya, jika terdapat berbagai pendapat yang penulis simpulkan. Selanjutnya kami ingin berterima kasih kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah sederhana ini. Syukron. . .
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1995.
Afan Gaffar. “ Politik Akomodasi: Islam dan Negara dan Indonesia" dalam M. Imam Aziz, dkk., Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1993.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Jakarta : Paramadina, 1998.
Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali, 1983.
Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1986.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 1982.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1983.
Tebba, Sudirman, “Islam di Indonesia : Dari Minoritas Politik Menuju Mayoritas Budaya”, Jurnal Ilmu Politik, No. 4, 1989.







[1] Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1986. hlm.62.
[2] Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 1995. hlm. 35.
[3] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1983. hlm. 42.
[4] Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta, Rajawali, 1983. hlm. 14-15.
[5] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1982. hlm. 96.
[6] Afan Gaffar. “ Politik Akomodasi: Islam dan Negara dan Indonesia" dalam M. Imam Aziz, dkk., Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. 1993. hlm. 103.
[7] M. Imam Aziz, dkk., Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. 1993. hlm. 105.
[8] Tebba, Sudirman, “Islam di Indonesia : Dari Minoritas Politik Menuju Mayoritas Budaya”, Jurnal Ilmu Politik, No. 4, 1989. hlm. 53-56.
[9] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Jakarta, Paramadina, 1998. hlm. 45.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, Hal. 224-225.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar