Perubahan sosial yang begitu cepat (rapid social change) yang diakibatkan perkembangan
dan kemajuan yang terjadi secara jelas telah mempengaruhi gaya hidup
masyarakat. Banyak hal yang bisa kita lihat di sekeliling kita bagaimana
perubahan itu bisa terjadi. Contohnya saja nilai-nilai religius dan sosial
kemasyarakatan yang sangat dijunjung masyarakat telah berubah menjadi corak masyarakat
yang mengesampingkan moral serta etika dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Corak hidup kebersamaan, gotong royong telah berubah menjadi corak masyarakat
yang individualis. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut sangat menuntut
kesiapan dari anggota masyarakat. Ketika masyarakat tidak memiliki
patokan/pedoman nilai-nilai yang kuat maka ia
bisa mengikuti arus perubahan
tersebut, dalam artian ia tidak mampu melakukan filterisasi terhadap
mana yang baik dan mana yang buruk.
Masyakarat juga tidak akan mungkin bisa menahan dan menghindar dari perkembangan-perkembangan
tersebut. Perkembangan yang terjadi pada hakikatnya baik karena mengindikasikan
bahwa umat manusia memiliki tekad untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (better of life). Contohnya saja
penciptaan berbagai macam alat teknologi seperti telepon seluler, internet,
maupun media-media lainnya, tentunya sangat bermanfaat bagi manusia jika tetap
memiliki pertimbangan nilai dan moral
conduct dalam mengkonsumsi produk-produk tersebut. Nilai-nilai kebergunaan
tentang suatu alat dan teknologi tentunya sangat ditentukan oleh manusia itu
sendiri. Jika ia tidak mampu menahan diri dan tidak memiliki pegangan nilai,
maka ia terjebak dalam perubahan tersebut tanpa memperhatikan berlakunya nilai kebaikan.
Oleh sebab itu banyak kita lihat masyarakat yang memanfaatkan alat-alat
tersebut untuk kepentingan negatif baik anak-anak hingga dewasa.
Cukup miris ketika kita memperoleh informasi dari
media massa tentang fenomena yang terjadi pada remaja sekarang ini. Setidaknya
perubahan-perubahan yang terjadi juga merambah pada dunia mereka dan sangat
disayangkan banyak di antara mereka yang tidak mampu menjangkau dan tidak dapat
memprediksi perkembangan tersebut sehingga melahirkan diskontinuitas perkembangan
seperti terjadinya penyimpangan-pernyimpangan perilaku. Tawuran antar pelajar,
pelanggaran tata tertib berkendaraan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang,
seks bebas, maupun pelanggaran-pelanggaran disiplin di sekolah seolah-olah
telah menjadi hal yang biasa. Hampir setiap hari mungkin dijumpai siswa yang
tawuran, bahkan mereka sudah tidak memainkan fungsi logika dan perasaan.
Namun di antara sekian banyak remaja juga masih kita
temui mereka yang tidak terjebak dalam perilaku menyimpang. Mereka inilah yang
memiliki sifat keunggulan secara individualistik maupun keunggulan
pasrtisipatoris. Ketika norma-norma dalam masyarakat telah dijungkir balikan
oleh masyarakat itu sendiri namun masih ada pribadi yang memiliki pemahaman
diri, memaknai dengan positif perubahan yang terjadi, memilih tindakan yang
akan digunakan dalam menghadapi tantangan, tidak mudah tergoda oleh kesenangan
sesaat, berpikir ke depan, dan mensyukuri keberhasilan yang diperoleh. Inilah
sifat-sifat yang dibutuhkan manusia dalam menghadapi perkembangan tersebut
menurut Jenifer James. Namun apakah semua remaja memiliki sifat seperti itu?,
tentunya sifat seperti itu tidak terbentuk secara sempurna dengan sendirinya,
harus ada sentuhan eksternal untuk menanamkan nilai-nilai tersebut.
Presiden Yudhoyono dalam sambutan Hardikas Tahun
2010 menyampaikan bahwa membangun watak bangsa amatlah penting melalui
pendidikan karakter. Ketika pengembangan manusia bertumpu pada watak maupun
moral dan ia berhasil maka tidak akan begitu sulit dalam mengembangkan aspek-aspek
lain. Sebaliknya ketika pendidikan tidak mampu membentuk manusia-manusia yang
berkarakter cerdas, yang mengesampingkan pertimbangan nilai dalam mencapai
tujuan, yang hanya ingin praktis dalam mencapai keinginan, alhasil ketika ia
berada dalam konteks kehidupan bermasyarakat bisa dikatakan bahwa apa yang
dilakukannya hanya difokuskan pada pemenuhan kepentingannya saja dan
mengabaikan kepentingan bersama. Orang-orang yang tidak memiliki karakter atau
watak lah yang melakukan korupsi, orang yang tidak memiliki kepribadian yang
unggul lah yang melakukan perilaku-perilaku menyimpang, orang yang tidak
memiliki sikap yang jelaslah mereka yang melanggar norma-norma dalam
masyarakat.
Sistem pendidkan nasional sekiranya masih belum
mampu mencapai tujuan pendidikan nasional seutuhnya, yakni untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk manusia Indonesia yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini bisa jadi disebabkan
karena secara nyata fokus upaya pendidikan di Indonesia baik formal, informal
maupun non formal, hanya mengunggulkan ranah kognitif dengan mengesampingkan
afektif. Contohnya saja banyak orang tua khususnya di kota-kota besar yang
berbondong-bondong mendaftarkan anaknya ke lembaga private mata pelajaran dibandingkan
mengantarkan anaknya untuk mengikuti pendidikan subuh di Mesjid. Contoh lain,
pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang hanya menjadikan beberapa mata pelajaran
sebagai parameter kelulusan. Jelas yang menjadi unggulan dan fokus adalah
kognitif. Apabila sistem seperti ini terus dibiarkan maka akan membentuk
manusia yang cerdas dalam akal dan berpikir namun secara emosional dan
spiritual ia lemah. Inilah yang menyebabkan mengapa bangsa ini mengalami
perkembangan yang lambat padahal dengan sumber daya alam yang luar biasa bangsa
kita bisa menjadi bangsa yang maju dan terpandang.
Fenomena tersebut mungkin bisa dihubungkan dengan 4
pilar pembelajaran yang dicetuskan oleh UNESCO yakni learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Saya memandang 4 pilar
pembelajaran tersebut mengesampingkan pembentukan sikap, penanaman nilai agama,
serta pembentukan karakter cerdas pada diri anak. Dengan kata lain dalam
membentuk pribadi-pribadi yang berkarakter tidak bisa hanya mengacu pada 4 pilar
tersebut. Perlu adanya tambahan satu pilar lagi yaitu learning to have character. Ketika pilar ini ditambahkan maka masing-masing
pilar yang dicetuskan UNESCO di dalamnya akan memuat bagaimana pembentukan
karakter. Ketika kita belajar untuk tahu maka di dalamnya memuat bagaimana
membentuk karakter, ketika belajar untuk mengerjakan/melakukan di dalamnya
memuat karakter, ketika kita belajar hidup bersama di dalamnya memuat
pembentukan karakter, dan ketika kita belajar untuk menjadi diri sendiri di
dalamnya juga memuat pembentukan karakter. Penanaman karakter yang dilakukan
ditujukan untuk membentuk sifat pribadi yang relatif stabil dan menjadi
landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma sebagai upaya
mencapai enam fokus upaya pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam pengertian
pendidikan (UU No. 20/2003: SPN, Pasal 1 Butir 1) yaitu dikembangkannya pada
diri peserta didik: kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan.
Untuk menerapkan pendidikan karakter tentunya tidak
bisa dilakukan hanya oleh 1 pihak saja. Ketika guru membentuk karakter pada
diri anak, sedangkan di lingkungan masyarakat ia melihat banyak nilai-nilai
yang dilanggar, maka hanya ada dua kemungkinan, ia tetap berpegang teguh pada
nilai-nilai yang telah dipelajari di sekolah, atau ia menanggalkan nilai-nilai
tersebut dan mengikuti pelanggaran nilai-nilai yang terjadi di masyarakat. Oleh
sebab itu untuk membentuk pribadi yang unggul dan berkarakter diperlukan kerja sama
dan koordinasi antara sekolah, keluarga, dan anggota masyarakat.
Sebagai lingkungan pertama bagi anak, keluargalah
yang memainkan peranan pertama. Di rumah orang tua hendakya memberikan
pendidikan moral dan karakter pada anak. Ajarkan nilai-nilai kepada anak. Orang
tua bisa menggunakan pendekatan-pendekatan khusus yang diwarnai dengan
kelembutan dan kasih sayang. Ketika mengajar anak dengan kekerasan secara tidak
langsung kita mengajarkan perilaku kekerasan pada anak yang tentu saja sangat
jauh dari nilai-nilai karakter. Ketika di sekolah juga dapat dilakukan
pendidikan karakter baik secara langsung dan tidak langsung. Contohnya
mengajarkan cerita dan puisi yang di dalamnya memuat karakterisitk moral,
kemudian diskusikan dengan anak tentang nilai-nilai karakter yang melekat pada
diri tokoh dan pesan moral apa yang bisa diambil. Tentunya banyak sekali
bahan-bahan yang bisa digunakan dalam pendidikan karakter. Secara tidak
langsung bisa diberikan melalui bentuk perilaku yang dicontohkan oleh pendidik,
misalnya mengucapkan salam, pendidik menganjurkan siswa untuk antri ketika
ingin pulang, dan lain sebagainya. Begitu juga di masyarakat. Harus ada
kesadaran bagi masing-masing anggota masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai
karakter pada remaja. Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama, kesuksesan
suatu negara juga tidak terlepas dari peran anggota masyarakatnya. Bersama-sama
menghindari sifat individualistik dengan menjadi manusia yang peka, ketika
melihat sesuatu itu salah maka ingatkan dan ajarkan agar menjadi benar, dan
ketika melihat sesuatu yang dikerjakan itu benar maka berikan penguatan agar
perilaku tersebut menjadi relatif menetap.
Koordinasi antara pihak-pihak tersebut sangat
diperlukan agar pendidikan karakter yang dilakukan dapat efektif. Jelaslah
bahwa masing-masing lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat) tidak
bekerja sendiri, namun merupakan suatu kesatuan kerja. Prinsip lepas tanggung
jawab harus sangat dihindarkan. Seperti prinsip ketika anak berada di sekolah
maka itu hanya menjadi tanggung jawab guru, ketika anak melakukan pelanggaran
di luar sekolah menurut pendidik itu bukan merupakan tanggung jawabnya karena
dilakukan usai jam pelajaran di sekolah.
Untuk mencapai suatu kesukesan dalam
memberikan nilai pada orang tentunya dari awal kita bentuk dulu nilai karakter
pada diri kita. Mungkin masih ada guru yang mengingatkan siswanya untuk jangan
terlambat ke sekolah namun ia sendiri terlambat ke sekolah, masih ada guru yang
mengingatkan siswa agar tidak berkonflik dengan sesama siswa namun ia sendiri
terlibat konflik dengan sesama pendidik. Tidak akan efektif suatu pendidikan
jika pendidik tidak terdidik dan tidak akan dikatakan berhasil suatu pendidikan
jika pendidik tidak memiliki dimensi keikhlasan.
Perlu diingat bahwa untuk mengubah ataupun membentuk
sistem nilai pada diri anak dibutuhkan proses, tidak bisa secara instan kita
bentuk karakter tersebut, oleh sebab itu baik orang tua, guru di sekolah maupun
masyarakat luas perlu kesabaran dan upaya ekstra dalam membentuk pribadi yang
berkarakter. Ketika penanaman karakter dikatakan berhasil pada remaja, kelak merekalah
yang akan membangun tanah air menjadi maju dan tetap berpegang teguh pada nilai
agama, moral, dan aturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui cerminan
etika, moral, budi pekerti, dan ditandai dengan samangat, tekad, dan energi
yang kuat, dengan pikiran positif dari sikap yang optimis.
As reported by Stanford Medical, It is really the ONLY reason this country's women live 10 years more and weigh on average 42 pounds less than we do.
BalasHapus(By the way, it has totally NOTHING to do with genetics or some secret-exercise and absolutely EVERYTHING related to "HOW" they eat.)
P.S, I said "HOW", not "what"...
Click on this link to uncover if this short test can help you release your real weight loss potential