BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam filsafat modern dikenal beberapa aliran-aliran diantaranya aliran rekonstruksionisme, di zaman modern ini banyak menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia terutama dalam bidang pendidikan dimana keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpang siuran.
Untuk mengatasi krisis kehidupan modern tersebut aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan ummat manusia.
Oleh karena itu, pada aliran rekonstruksionisme ini peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Disamping itu, aliran rekonstruksionisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas di sini adalah :
- Pengertian dan Sejarah Rekonstruksionisme
- Tokoh-Tokoh dan Asal Aliran Rekonstruksionisme
- Dasar Filosofis Aliran Rekonstruksionisme
- Ide Sentral rekonstruksionisme tentang Pendidikan
- Pandangan dan Sikap tentang Aliran Rekonstruksionisme
C. Landasan Masalah
Makalah ini didasarkan dari buku-buku yang mempelajari tentang Filsafat Pendidikan Islam dan khususnya mengenai Rekonstruksionisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Sejarah Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme berasal dari bahasa inggris reconstruc yang berarti menyusun kembali.[1] Dalam konteks filsafat pendidikan, Rekonstruksionisme adalah sebuah aliran yang berupaya merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran ini sering pula disebut dengan aliran rekonstruksi sosial.
Rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang tentang tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan yang baru dalam seluruh lingkungannya.[2]
Rekonstruksionisme ini juga ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan kebudayaan baru melalui lembaga dan proses pendidikan.
Sebagai aliran pendidikan, Rekonstruksionisme sejak awal sejarahnya di tahun 1920 dengan lahirnya sebuah karya John Dewey yang berjudul Reconstruktion in Philosophy yang kemudian digerakkan secara nyata oleh George Count dan Harold Rugg di tahun 1930-an, yang selalu ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana rekonstruksi masyarakat. Rekonstruksionisme ini pun telah pula diformulasikan oleh George S. Counts dalam sebuah karya klasiknya ‘Dare The Schools Build a New Social Order?’ yang diterbitkan pada tahun 1932.
Aliran ini pada prinsipnya sependapat dengan aliran perenialisme dalam mengungkap krisis kebudayaan modern. Menurut Syam, kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang kebudayaannya terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpang siuran. Bila aliran perenialisme memilih cara dan jalan pemecahan masalah dengan kembali kepada budaya abad pertengahan, maka rekonstruksionisme berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan pertama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
John Hendrik mengemukakan juga bahwa rekonstruksionisme merupakan reformasi sosial yang menghendaki budaya modern para pendidik. Rekonstruksionisme memandang kurikulum sebagai problem sentral.
Penganut aliran ini percaya telah tumbuh keinginan yang sama dari bangsa-bangsa yang tersimpul dalam ide rekonstruksionisme. Rekonstruksionisme di barat bercita-cita mewujudkan dan melaksanakan perpaduan antara ajaran kristen dan demokrasi modern dengan teknologi modern dan seni modern dalam suatu kebudayaan yang dibina bersama oleh seluruh kedaulatan bangsa-bangsa sedunia. Rekonstruksionisme mencita-citakan terwujudnya suatu dunia baru dengan suatu kebudayaan baru dari satu kedaulatan dunia dalam mengontrol umat manusia.
B. Tokoh-Tokoh dan Asal Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan Progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresiv hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.[3]
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, mereka ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah Caroline Pratt, George Count, dan Harold Rugg.
C. Dasar Filosofis Aliran Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, realita itu ada dimana saja dan sama disetiap tempat. Realita tidak terlepas dari suatu sistem disamping substansi yang dimiliki bagi tiap-tiap benda tersebut dan dipilih melalui akal pikiran.
Pada prinsipnya aliran ini memandang alam metafisika dalam bentuk dualisme dimana alam nyata ini mengandung dua hakikat, jasmani dan rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, azali dan abadi, hubungan antara keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam.
Aliran Rekonstruksionisme dalam satu prinsip sependapat dengan Perenialisme bahwa ada satu kebutuhan amat mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang, yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan. Tetapi aliran Rekonstruksionisme tidak sependapat dengan cara dan jalan pemecahan yang ditempuh filsafat Perenialisme. Berbeda dengan perenialisme yang memilih jalan kembali ke dalam kebudayaan abad pertengahan, maka Rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.[4]
Sebagai tokoh rekonstruksionisme, Muhammad Iqbal (1938 M), mengatakan dari dunia islam bahwa hakikat manusia adalah segenap kekuatan diri yang akan menentukan siapa ia. Apabila dirinya dapat berkembang dengan baik, maka eksistensinya dalam masyarakat dan dunia pun akan di akui. Oleh karena itu, Iqbal berpendapat bahwa untuk membangun kembali umat islam yang telah terpuruk pada kemerosotan dan kemunduran yang berpangkal pada kemerosotan humanitas, perlu menata dan membangun kembali tata sistem baru dengan mengembangkan potensi diri dan akal manusia yang akan menunjuk pada eksistensi manusia dalam memandang realitas. [5]
Hal yang sama juga diungkapkan oleh John Dewey yang mengungkapkan bahwa ide-ide dan gagasan-gagasan mestilah sesuatu yang dapat diterapkan dalam tindakan-tindakan yang berguna bagi pemecahan berbagai problema yang muncul dalam masyarakat.
Aliran rekonstruksionisme memandang nilai berdasarkan pada supernatural yang bersifat universal yang berdasarkan pada nilai-nilai teologis. Karena hakikat manusia adalah emanasi yang secara potensial berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan, maka peninjauan tentang kebaikan dan keburukan pun dapat dilakukan dan diketahuinya.
Menurut Brameld Kneller (1971), teori pendidikan rekonstruksionisme ada 5 yaitu :[6]
a. Pendidikan harus dilaksanakan disini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
b. Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
c. Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial. Menurut Brameld, kaum progresiv terlalu sangat menekankan bahwa kita semua dikondisikan secara sosial. Menurut Rekonstruksionisme, hidup beradab adalah hidup berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah. Pendidikan merupakan realisai dan sosial, melalui pendidikan individu tidak hanya mengembangkan aspek-aspek sifat sosialnya melainkan juga belajar bagaimana keterlibatannya dalam perencanaan sosial.
d. Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensinya dirinya dengan cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis. Guru harus bisa menghadirkan beberapa pemecahan alternatif dengan jelas, dan ia memperkenankan siswa-siswanya untuk mempertahankan pandangan-pandangan mereka sendiri.
e. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial yang mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai dimana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal.
f. Kita harus bisa meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode pelajaran yang dipakai, struktur administrasi, dan bagaimana cara guru di latih. Semua itu harus di bangun kembali bersesuaian dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia secara rasional dan ilmiah. Kita harus menyusun kurikulum dimana pokok-pokok dan bagiannya dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu sekuensi komponen pengetahuan.
D. Ide Sentral rekonstruksionisme tentang Pendidikan
Aliran ini yakin bahwa pendidikan tidak lain adalah tanggung jawab sosial, karena memang eksistensinya untuk pengembangan masyarakat. Rekonstruksionisme tidak saja berkonsentrasi tentang hal-hal yang berkenan dengan manusia, tetapi juga terhadap teori belajar yang dikaitkan dengan pembentukan kepribadian subjek didik yang berorientasi pada masa depan. Oleh karena itu pula, maka idealitasnya terletak pada filsafat pendidikannya.
Aliran Rekonstruksionisme berkeyakinan juga bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia dan bangsa, karena pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.[7]
Rekonstruksionisme percaya bahwa manusia memiliki potensi fleksibel dan kukuh baik dalam sikap maupun dalam tindakan. Suatu hal yang paling berharga dalam kehidupan manusia itu, jika ia memiliki kesempatan yang cukup untuk mengembangkan potensi naturalnya secara sempurna. Pendidikan dalam hal ini adalah jawaban atas keinginan potensial manusia itu.
Rekonstruksionisme percaya juga bahwa pendidikan sebagai suatu lembaga masyarakat tentulah di arahkan pada upaya rekayasa sosial, sehingga segala aktivitasnya pun senantiasa merupakan solusi bagi berbagai problem kehidupan dalam masyarakat. Dalam bidang pendidikan, bukan berarti semua subjek didik dianggap mempunyai kapasitas yang sama dalam intelektual dan kreativitas, sehingga sekolah tidak mesti harus diorganisasikan secara politis seperti pada masyarakat demokrasi, sebab kendatipun kodrat manusia bebas belajar dan mengembangkan diri, bukan berarti ia boleh berbuat apa saja tanpa dapat dibatasi dan diarahkan.
M. Iqbal dalam hal ini mengungkapkan bahwa pendidikan terbaik yang sesuai dengan watak manusia adalah pendidikan yang mengaksentuasikan aktivitasnya pada pemberian pengetahuan kepada subjek didik melalui metode problem solving, yakni suatu cara yang efektif untuk melatih berfikir kreatif, kritis, dan inovatif. [8]
Guru menurut aliran ini bertugas menggantikan subjek didiknya tentang urgensi rekonstruksi dalam memajukan kehidupan sosial kemasyarakatan dan membiasakan mereka untuk sensitif terhadap berbagai problem yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta mencarikan solusi yang diperlukan menuju perbaikan dan perubahan-perubahan. Untuk itu, seorang guru dituntut untuk memiliki keterampilan dalam membantu dan menyediakan kondisi kepada subjek didik agar subjek didiknya mampu dan terampil dalam memberikan solusi terhadap berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik yang tumbuh dalam masyarakat. Seorang guru mesti berani berbeda pandangan sebagai lambang dari suatu kreativitas dalam memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan yang dipikirkan.
Rekonstruksionisme percaya, bahwa pengembangan watak manusia mesti selalu berinteraksi dengan kondisi-kondisi yang mengelilinginya. Suatu kebudayaan lahir berdasarkan pada pola adaptasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan lingkungan masyarakatnya. Mengingat manusia adalah bagian terpenting dalam sebuah masyarakat, maka apapun yang ia lakukan selalu berkenaan dengan pembentukan kebudayaannya. Pembentukan kebudayaan ini sangat tergantung pada aspek kebebasan yang memang merupakan hak esensial manusia. Untuk itu demokrasi mestilah menjadi asas penting dalam kehidupan sosial dalam skala apapun.
Mengingat manusia adalah bagian masyarakat, maka pendidikan secara efisiensi mesti mengacu kepada kepentingan rekonstruksi masyarakat. Pendidikan bagi rekonstruksionime mesti diarahkan untuk memampukan subjek-subjek didik membangun dunia bagi masyarakat melalui pendayagunaan kemampuan akal, indera, dan intuisi, sehingga pendidikan harus menjadikan subjek didiknya mampu menggunakan ilmu pengetahuan yang diperolehnya sebagai wahana bagi perealisasian nilai-nilai spiritual. Untuk itu perlu adanya upaya integrasi intelektual dan cinta, sebab hidup bukanlah rutinitas, tetapi seni yang kreatif, konstruktif, dan inovatif.
Rekonstruksionisme percaya bahwa pendidikan sebagai suatu lembaga masyarakat tentulah diarahkan pada upaya rekayasa sosial, sehingga segala aktivitasnya pun senantiasa merupakan solusi bagi berbagai problem kehidupan dalam masyarakat. Pendidikan dalam hal ini mesti diarahkan pada perubahan pola pikir masyarakat, sehingga teknologi-teknologi yang begitu besar lebih dijadikan sebagai sumber kreativitas daripada untuk menghancurkan nilai-nilai dalam suatu masyarakat.[9]
E. Pandangan dan Sikap tentang Aliran Rekonstruksionisme
1. Pandangan secara Ontologi
Dalam Ontologi dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran Rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, dimana realita itu ada di suatu tempat. Dan tiap realita sebagai substansi selalu cendrung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju aktualitas (teknologi).
2. Pandangan secara Ontologis
Dalam proses timbal balik sesama manusia, dibutuhkan nilai-nilai. Aliran Rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yaitu menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis.
3. Pandangan secara Epistemologis
Kajian epistemologis pada aliran ini adalah lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progresivisme) dan perenialisme. Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self-evidence yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang digunakan untuk menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan defenisi atau pengertian yang logis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris Reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Maka dari itu rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan, rekonstruksionisme ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru.
Aliran ini pada prinsipnya sependapat dengan aliran perenialisme dalam mengungkap krisis kebudayaan modern. Menurut Syam, kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang kebudayaannya terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpang siuran. Bila aliran perenialisme memilih cara dan jalan pemecahan masalah dengan kembali kepada budaya abad pertengahan, maka rekonstruksionisme berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan pertama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
B. Saran
Setelah melalui studi pustaka dan diskusi kelompok selesailah makalah ini. Sepenuhnya kami sadar akan banyaknya kekurangan di beberapa titik. Banyak penafsiran-penafsiran serta pendapat yang berbeda dan itu semua tidak lepas dari sifat fitrah dari penulis sebagai manusia yang memiliki banyak keterbatasan. Jadi maklumlah kiranya, jika terdapat berbagai pendapat yang penulis simpulkan. Oleh semua itu, jika sampai terdapat beberapa perbedaan pendapat, tentunya bisa di pelajari. Maka, besar harapan kami adanya respon dari pembaca terhadap makalah ini.
Lepas dari itu semua kami berharap makalah ini dapat memberikan pengetahuan baru bagi siapapun pembacanya. Selanjutnya kami ingin berterima kasih kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah sederhana ini. Syukron. . . . . . .
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta : Gaya Media Pratama), 1997.
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat, (Surabaya : Usaha Nasional,), 1988.
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekanbaru : LSFK2P), 2005.
Suhairini, Dkk. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara), 1984.
www.google.com Tempat Asal Aliran Rekonstruksionisme
www.google.com Teori Pendidikan Rekonstruksionisme
[1] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekanbaru : LSFK2P), 2005, Hal. 193
[2] Suhairini, Dkk. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara), 1984.
[3] www.google.com Tempat Asal Aliran Rekonstruksionisme
[4] Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat, (Surabaya: Usaha Nasional), 1988, Hal. 340-341.
[5] Muhmidayeli, Op Cit., hal. 197.
[6] www.google.com Teori Pendidikan Rekonstruksionisme
[7] Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta : Gaya Media Pratama), 1997, Hal. 97.
[8] Muhmidayeli, Op Cit., Hal. 204
[9] Muhmidayeli, Ibid., Hal. 208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar