Pages

Minggu, 27 Februari 2011

MUHAMMADIYAH & NU


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari merupakan ulama yang sangat dihargai. Mereka sama-sama hidup di kalangan pesantren dan memiliki keluarga yang mempunyai silsilah kyai.
Sebagai ulama, KH. Ahmad Dahlan berbekal ilmu agama yang ia kuasai dan ide-ide pembaru dari Timur tengah. Kemudian KH. Ahmad Dahlan mencoba menerapkannya di bumu nusantara ini.
Sedangkan, sebagai ulama juga KH. Hasyim Asy’ari mempunyai ilmu-ilmu keislaman yang lengkap. Sikapnya pada kaum penjajah baik kepada Belanda maupun Jepang cukup tegas. Sehingga fatwa jihad mengobarkan semangat perlawanan.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas di sini adalah khusus mengenai tokoh-tokoh pemikiran dari Indonesia, yakni :
  1. KH. Ahmad Dahlan
  2. KH. Hasyim Asy’ari

C.     Landasan Masalah
Makalah ini didasarkan dari buku-buku yang mempelajari tentang Pemikiran Pendidikan Islam dan khususnya mengenai KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari.








BAB II
PEMBAHASAN

          A.      KH. Ahmad Dahlan
1.      Biografi
Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah anak dari KH. Abubakar, Imam Khatib Masjid Besar (gedhe) Kota Yogyakarta. Di waktu kecil KH. Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis, nama Ahmad Dahlan adalah pergantian setelah berangkat untuk menunaikan ibadah haji di Makkah. Muhammad Darwis mempunyai sifat yang baik dan budi pekertinya halus dan hatinya lunak tetapi wataknya cerdas, menginjak usia 8 tahun ia telah dapat membaca Al-Qur’an dengan lancar sampai khatam.[1]
Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).
Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada bulan Dzulhidjah tahun 1889 Miladiyah dan saat usia 18 tahun, Muhammad Darwis dinikahkan dengan putri dari Kyai Haji Muhammad Fadlil Hoofd Panghulu Hakim di Yogyakarta yang bernama Siti Walidah yang sekarang kita sebut sebagai Nyi Ahmad Dahlan. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9). Beliau dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.[2]

2.      Pemikiran dan Ide Pembaharuan
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat. KH. Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, Beliau bergabung sebagai anggota Boedi Oetomo yang merupakan organisasi kepemudaan pertama di Indonesia.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan lain-Iain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.
Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).[3]
Buku catatan tentang Kiyai Ahmad Dahlan merupakan kumpulan diary milik Haji Muhammad Syoedja’ cerita-ttg-kiyai-dahlan-catatan-kyai-soedjak yang ditulis secara detail tentang perjalanan perjuangan KH.[4] Ahmad Dahlan mulai dari kisah kanak-kanak hingga KH. Ahmad Dahlan Wafat. Muhammad Syoedja’ adalah murid dan kader langsung KH Ahmad Dahlan, bersama-sama dengan adik dan teman-temannya, seperti Haji Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusumo, Haji Muhammad Zain, Haji Muhammad Mokhtar, KHA. Badawi, R.H. Hadjid dan lain-lain. Jika KH. A. Dahlan adalah peletak dasar aktivitas amal usaha sosial Muhammadiyah, maka H. Muhammad Syoedja’ adalah perumus dan sekaligus penafsirnya dalam realitas gerakan. Beliau Ketua Bahagian (saat ini Majelis) Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang pertama, salah satu pendiri dan perintis RS PKU Muhammadiyah, pendiri rumah miskin, rumah anak yatim, dan pelopor gerakan Persatuan Djamaah Hadji Indonesia (PDHI). Pada awal mula musyawarah Muhammadiyah yang pertama Haji Muhammad Soedja’ merupakan pengurus yang langsung di tunjuk oleh KH. Ahmad Dahlan dari bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem yang merumuskan pendirian Rumah Sakit Muhammadiyah, Rumah Yatim dan Rumah Miskin pada awal program kerja. Jadi pada awal Musyawarah besar (sekarang Muktamar) Muhammadiyah setiap pengurus secara langsung dilantik dan menyebutkan program kerja sebagai sumpah jabatan secara langsung dihadapan musyawirin. Walaupun menurut buku ini program kerja yang dirumuskan oleh Haji Muhammad Soedja’ ditertawai dan diremehkan oleh para musyawirin karena pada saat itu mendirikan Rumah Sakit, Rumah Miskin dan Rumah Yatim merupakan hal yang mustahil sehingga para musyawirin menganggap bahwa Haji Muhammad Soedja’ hanya bermimpi dan berangan-angan saja. Jika sekarang para kader dan masyarakat Indonesia yang sakit atau yatim lalu memeriksakan kesehatan di Rumah Sakit Muhammadiyah atau Pondokan Yatim Muhammadiyah, itu merupakan realitas hasil dari perumusan, penafsiran, dan perintisan Haji Muhammad Soedja’ pada awal perjuangan Persyarikatan Muhammadiyah.

           B.      KH. Hasyim Asy’ari
1.      Biografi
KH. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871.[5] beliau merupakan anak ketiga dari sepuluh bersaudara, dari keluarga kyai. Ayahnya, KH. Asy’ari merupakan pendiri pesantren keras, sedangkan kakeknya, KH. Usman pengasuh pesantren Nggedang, masih di wilayah Jombang. Pesantren Tambak Beras, yang terletak di Barat kota Jombang, didirikan oleh ayah kakeknya, KH. Sihah.
Latar belakang dari keluarga santri dan hidup di pesantren sejak lahir, memberikan sentuhan tersendiri bagi Hasyim. Beliau pun sebagaimana keluarga pesantren umumnya, dididik dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Orang yang pertama mendidik dan memberikan bimbingan ilmu-ilmu agama adalah ayahnya, Kyai Asy’ari.
Sejak kecil Hasyim sudah terlihat punya tanda-tanda bahwa ia kelak akan menjadi anak yang cerdas. Diantara kecerdasan yang nampak adalah sejak usianya menginjak 13 tahun. Hasyim sudah dipercaya oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya lebih tua darinya.
Ilmu agama diperluasnya dengan cara belajar tidak hanya pada   satu guru, ayahnya, tetapi juga ke berbagai pondok pesantren di sekitar Jawa Timur. Di usianya yang masih belia, Hasyim menimba ilmu, antara lain, ke pondok Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Bangkalan, dan Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Kecerdasan dan ketekunannya dalam menimba ilmu rupanya membuat pengasuh pondok, KH. Ya’kub amat menyukainya. Itu sebabnya, Hasyim lalu dijodohkan dengan anaknya, Nafsiah. Sehingga mereka menikah pada tahun 1892.

2.      Pemikiran dan Ide Pembaharuan
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memposisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bid’ah. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, Kyai Hasyim bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah dan beberapa ulama lain dari Jawa Timur mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.[6]
 Kelahiran NU sendiri melalui proses yang cukup panjang. Sebelum merestui berdirinya ormas yang menampung aspirasi dari kalangan Islam tradisional, Kyai Hasyim melakukan istikharah. Lewat shalat yang intinya minta petunjuk itulah ia punya keyakinan dan kemantapan untuk segera merealisir terbentuknya institusi yang menghimpun kaum ulama.
Kyai Kholil Bangkalan, mantan gurunya juga mendukungnya. Dukungannya cukup unik untuk sebagian kalangan. Kyai Kholil memberi dukungan dengan cara memberi tongkat kesayangannya kepada Kyai Hasyim.
Maka pada 31 Januari 1926 tersebut, Kyai Abdul Wahab Hasbullah menghimpun sejumlah ulama dan mendirikan organisasi Islam dengan nama Nahdhatul Ulama (Kebangktan Ulama). Sebagian ulama yang ikut pertemuan itu akhirnya pergi ke Hijaz (Arab Saudi) dan bertemu dengan Raja Saud yang berideologi Wahabi.
Delegasi tersebut meminta agar Raja memberi ruang gerak bagi pelaksanaan ajaran mazhab empat, memelihara tempat-tempat bersejarah seperti Makam Nabi Muhammad saw., di umumkannya biaya pelaksanaan haji, dan mengatur undang-undang secara tertulis tentang peraturan-peraturan yang berlaku di Arab saudi, agar umat Islam yang berkunjung kesana, terutama ke Mekkah dan Madinah, tidak melanggar aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.
Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.
KH. Hasyim mempunyai pandangan di bidang Teologi, bahwa Islam tidak hanya membimbing manusia hanya untuk menyembah satu Tuhan, tapi Ia merupakan agama yang memajukan aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat. Islam menurut KH. Hasyim sangat menghargai persaudaraan dan menanggalkan sinbol-simbol status, seperti ekonomi, pendidikan, dan ras.[7]
Di bidang Tasawuf, Kiai Hasyim punya pemikiran yang cukup rasional. Menurutnya, untuk menjadi seorang sufi, ada persyaratan yang cukup ketat. Sedangkan untuk guru sufi, persyaratan tersebut semakin berat. Inilah yang membedakan Kiai Hasyim dengan para guru tarekat kebanyakan. Baginya, seorang sufi adalah manusia biasa. Karena itu ia tak perlu disanjung-sanjung sampai keujung langit seakan-akan suci tanpa dosa.
Sanjungan atau penghormatan yang keterlaluan dalam bentuk, antara lain pemujaan terhadap para guru sufi, ditentang oleh Kiai Hasyim. Ini sebabnya ia tak membolehkan anak-cucunya untuk mengadakan khaul (peringatan tahunan meninggalnya) atas dirinya. Padahal, dihampir pesantren  tradisional, khaul adalah sebuah keniscayaan.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam pembaharuan Lewat Pendidikan, atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai PahlawanNasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat; Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam; Usahanya `memberi warna” pada Budi Utomo yang cenderung kejawen dan sekuler, tidaklah sia-sia. Terbukti kemudian dengan munculnya usulan dari para muridnya untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri, lengkap dengan organisasi pendukung.Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kelemahan pesantren yang biasanya ikut mati jika kiainya meninggal. Maka pada 18 Nopember 1912 berdirilah sekolah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah. Sekolah tersebut mengambil tempat di ruang tamu rumahnya sendiri ukuran 2,5 x 6 M di Kauman.Madrasah tersebut merupakan sekolah pertama yang dibangun dan dikelola oleh pribumi secara mandiri yang dilengkapi dengan perlengkapan belajar mengajar modern seperti; bangku, papan tulis, kursi (dingklik; kursi berkaki empat dari kayu dengan tempat duduk panjang), dan sistem pengajaran secara klasikal.
Kyai Hasyim bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah dan beberapa ulama lain dari Jawa Timur mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelahiran NU sendiri melalui proses yang cukup panjang. Sebelum merestui berdirinya ormas yang menampung aspirasi dari kalangan Islam tradisional, Kyai Hasyim melakukan istikharah. Lewat shalat yang intinya minta petunjuk itulah ia punya keyakinan dan kemantapan untuk segera merealisir terbentuknya institusi yang menghimpun kaum ulama. Kiai Hasyim Asy’ari juga mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memposisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

B.  Saran
Setelah melalui studi pustaka dan diskusi kelompok selesailah makalah ini. Sepenuhnya kami sadar akan banyaknya kekurangan di beberapa titik. Banyak penafsiran-penafsiran serta pendapat yang berbeda dan itu semua tidak lepas dari sifat fitrah dari penulis sebagai manusia yang memiliki banyak keterbatasan. Jadi maklumlah kiranya, jika terdapat berbagai pendapat yang penulis simpulkan. Oleh semua itu, jika sampai terdapat beberapa perbedaan pendapat, tentunya bisa di pelajari. Maka, besar harapan kami adanya respon dari pembaca terhadap makalah ini.
Lepas dari itu semua kami berharap makalah ini dapat memberikan pengetahuan baru bagi siapapun pembacanya. Selanjutnya kami ingin berterima kasih kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah sederhana ini. Syukron. . .  . . . .     






DAFTAR PUSTAKA


Henry Mohammad, Dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh abad 20, Gema Insani, Jakarta, 2006.

www.google.com http://f4ni.files.wordpress.com/2008/05/cerita-ttg-kiyai-dahlan-catatan-kyai-soedjak.pdf


www.google.com f4ni.wordpress.com/2008/05/.../biografi-kh-ahmad-dahlan/ - Tembolok Biografi KH. Ahmad Dahlan

www.google.com http://id.wikipedia.or




[1] www.google.com http://f4ni.files.wordpress.com/2008/05/cerita-ttg-kiyai-dahlan-catatan-kyai-soedjak.pdf
[3]  www.google.com http://id.wikipedia.or
[4] f4ni.wordpress.com/2008/05/.../biografi-kh-ahmad-dahlan/ - Tembolok Biografi KH. Ahmad Dahlan
[5] Henry Mohammad, Dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh abad 20, Gema Insani, Jakarta, 2006, Hal. 21.
[6]  www.google.com http://id.wikipedia.or

[7] Henry Mohammad, Ibid., Hal. 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar