Pages

Sabtu, 09 April 2011

Teori Kepribadian Humanistik (ABRAHAM MASLOW)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Abraham Harold Maslow dilahirkan di Broklyn, New York pada tanggal 1 April 1908. Dia dapat di pandang sebagai Bapak dari Psikologi humanistik. Pada awalnya, Maslow yang anak imigran Rusia ini adalah seorang yang behavioris. Karena merasa tidak puas dengan Psikologi behavioristik dan psikianalisis, Watson mencari alternatif psikologi yang fokusnya adalah manusia dengan ciri-ciri eksistensinya.
            Maslow memutuskan untuk belajar psikologi terutama karena pengaruh behaviorisme Watson. Melalui penelitian-penelitiannya di Universitas Wisconsin, dengan menggunakan teori-teori Watson, Maslow menemukan berbagai persamaan antara kera dan manusia.
            Akan tetapi ada suatu peristiwa yang menyebabkan ia meninggalkan behaviorisme. Yaitu kelahiran anaknya yang pertama, “Halilintar yang membereskan segala sesuatu”, begitu dia menggambarkan pengalaman itu. “Saya akan berkata bahwa siapa saja yang mempunyai seorang bayi tidak dapat menjadi seorang behavioris”.[1] Dia terpesona oleh misteri kehidupan dan bukan dengan mengontrolnya sebagaimana dikemukakan oleh behaviorisme.
            Karena itu Maslow kemudian beralih ke psikologi holistik dan humanistik. Gerakan psikologi humanistik mulai di Amerika Serikat tahun 1950 dan terus berkembang. Para tokohnya berpendapat bahwa psikologi terutama psikologi behavioristik mendehumanisasi manusia.[2] Sekalipun psikologi behavioristik menunjukkan keberhasilannya yang cukup spektakuler dalam bidang-bidang tertentu, namun sebenarnya gagal untuk memberikan sumbangan dalam pemahaman manusia dan kondisi eksistensinya.
            Dalam suasana ketidakpuasan terhadap psikologi behavioristik, muncul berbagai macam buku ataupun artikel yang berkisar pada penekanan soal person. Misalnya Maslow dengan bukunya yang berjudul “motivation and personality”, bukunya Allport yang berjudul “Becoming”, yang menekankan pada sifat-sifat yang ada pada manusia. Karena itu para Ahli psikologi humanistik mengarahkan perhatiannya pada “humanisasi” psikologi, yang menekankan pada keunikan manusia.
            Manusia adalah makhluk yang kreatif, yang dikendalikan bukan oleh kekuatan-kekuatan ketidak sadaran “psikoanalisis” melainkan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri.
            Menurut Maslow psikologi harus lebih manusiawi, yaitu lebih memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan. Psikologi harus mempelajari kedalaman sifat manusia, selain mempelajari prilaku yang tampak juga mempelajari prilaku yang tidak tampak, mempelajari ketidak sadaran sekaligus mempelajari kesadaran, instropeksi sebagai suatu metode penelitian yang telah di singkirkan, harus dikembalikan lagi sebagai metode penelitian psikologi. Psikologi harus mempelajari manusia bukan sebagai tanah liat yang pasif, yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar tetapi manusia adalah makhluk yang aktif, menentukan geraknya sendiri, ada kekuatan dari dalam untuk menentukan prilakunya.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang akan dirumuskan di dalam makalah ini adalah :
  1. Teori Kepribadian Humanistik (ABRAHAM MASLOW)
  2. Sifat-sifat Pengaktualisasi-Pengaktualisasi Diri

C.    Landasan Makalah
Makalah ini didasarkan dari buku-buku yang mempelajari tentang Teori Kepribadian Humanistik, khususnya menurut Abraham Maslow.




BAB II
PEMBAHASAN

  1. Teori Kepribadian Humanistik (ABRAHAM MASLOW)
1.      Eksistensialisme dan Psikologi Humanistik
Istilah Psikologi humanistik diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerjasama dibawah kepemimpinan Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisa dan behaviorisme. Sekelompok ahli tersebut memiliki pandangan yang berbeda, tetapi mereka berpijak kepada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yakni Eksistensialisme.
Eksistensialisme dengan sejumlah tokohnya yang mengesankan adalah sebuah aliran filsafat yang mempermasalahkan manusia sebagai individu dan sebagai problema yang unik dengan keberadaannya. Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya itu.
Oleh karena eksistensialisme menekankan pada anggapan bahwa manusia memiliki kebebasan dan bertanggung jawab bagi tindakan-tindakannya, maka eksistensialisme menarik bagi para ahli psikologi humanistik. Karena pengaruh eksistensialisme, psikologi humanistik mengambil model dasar manusia sebagai makhluk yang bebas dan bertanggung jawab.




2.      Ajaran-ajaran Dasar Psikologi Humanistik
a.       Individu sebagai keseluruhan yang Integral
Salah satu aspek yang fundamental dari Psikologi Humanistik adalah ajarannya bahwa manusia atau individu harus dipelajari sebagai keseluruhan yang integral, khas dan terorganisasi. Sesuai dengan teori Maslow dengan prinsip holistiknya, motivasi mempengaruhi individu secara keseluruhan, dan bukan secara bahagian.

b.      Ketidak relevanan Penyelidikan dengan Hewan
Para juru bicara Psikologi Humanistik mengingatkan tentang adanya perbedaan yang mendasar antara tingkah laku manusia dengan tingkah laku hewan bagi mereka, manusia itu lebih dari sekadar hewan. Ini bertentangan dengan behaviorisme yang mengandalkan penyelidikan tingkah laku hewan dalam upaya memahami tingakah laku manusia. Berbeda dengan para behavioris yang menekankan kesinambungan alam manusia dengan dunia hewan, Maslow dan para teoris kepribadian humanistik umumnya memandang manusia yang sebagai makhluk yang berbeda dengan hewan apapun. Maslow menegaskan bahwa penyelidikan dengan hewan tidak relevan bagi upaya memahami tingkah laku manusia karena hal itu mengabaikan ciri-ciri khas manusia seperti adanya gagasan-gagasan, nilai-nilai, rasa malu, cinta, semangat, humor, rasa seni dan sebagainya yang dengan kesemua ciri yang dimilikinya itu manusia bisa menciptakan pengetahuan, puisi, musik, dan pekerjaan-pekerjaan khas manusia lainnya.

c.       Pembawaan Baik Manusia
Teori Freud secara Implisit menganggap bahwa manusia pada dasarnya memiliki karakter jahat. Impuls-impuls manusia, apabila tidak dikendalikan akan menjuruskan manusia kepada pembinasaan sesamanya dan juga penghancuran dirinya sendiri sementara menurut Maslow hanya memiliki sedikit kepercayaan tentang kemuliaan manusia, dan berspekulasi secara pesimis tentang nasib manusia. Sebaliknya, Psikologi humanistik memiliki anggapan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah baik, atau tepatnya netral. Menurut perspektif humanistik, kekuatan jahat atau merusak yang ada pada manusia itu adalah hasil dari lingkungan yang buruk dan bukan merupakan bawaan.

d.      Potensi Kreatif Manusia
Pengutamaan kreativitas manusia merupakan salah satu prinsip yang penting dari Psikologi Humanistik. Maslow, dari studinya atas sejumlah orang tertentu menemukan bahwa pada orang-orang yang ditelitinya itu terdapat satu ciri yang umum, yakni kreatif. Dari situ Maslow menyimpulkan bahwa potensi kreatif merupakan potensi yang umum pada manusia.  

e.       Penekanan pada kesehatan Psikologi
Maslow secara konsisten beranggapan bahwa tidak ada satupun pendekatan psikologis yang mempelajari manusia dengan bertumpu pada fungsi-fungsi manusia berikut cara dan tujuan hidupnya yang sehat. Dalam hal ini Maslow terutama mengkritik Freud yang menurutnya terlalu mengutamakan studi atas orang-orang yang tidak sehat. Maslow juga merasa bahwa psikologi terlalu menekankan pada sisi negatif manusia dan mengabaikan kekuatan atau sifat-sifat yang positif dari manusia. Maslow yakin bahwa kita tidak akan bisa memahami gangguan mental sebelum kita memahami kesehatan mental. Karena itu Maslow mendesak perlu adanya studi atas orang-orang yang berjiwa sehat sebagai landasan bagi pengembangan psikologi yang universal.   


3.      Hierarki Kebutuhan Maslow
Hierarki kebutuhan Maslow merupakan salah satu teori motivasi paling terkenal.[3] Dalam bukunya yang berjudul “Motivation and personality (1954)”, Maslow menggolongkan kebutuhan manusia itu pada lima tingkat kebutuhan, yaitu :[4]
a.       Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisiologis
Kebutuhan-kebutuhan fisiologis ( phsysiological needs ) adalah sekumpulan kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan kelangsungan hidup.
Yang paling dasar, paling kuat, dan paling jelas diantara segala kebutuhan manusia adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan makan, minum, tempat berteduh, oksigen, dan sebagainya. Maslow berpendapat, keyakinan kaum behavioris bahwa kebutuhan-kebutuhan fisiologis memiliki pengaruh yang besar pada tingkah laku manusia hanya dapat dibenarkan sejauh kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpuaskan. Selanjutnya, jika pada gilirannya kebutuhan-kebutuhan ini telah pula dipuaskan, lagi-lagi muncul kebutuhan-kebutuhan baru (lebih tinggi lagi), dan begitu seterusnya. Menurut Maslow, selama hidupnya, praktis manusia selalu mendambakan sesuatu.

b.      Kebutuhan akan rasa aman (safety needs)
Apabila kebutuhan fisiologis individu telah terpuaskan, maka dalam diri individu akan muncul satu kebutuhan lain sebagai kebutuhan yang dominan dan menuntut pemuasan, yakni kebutuhan akan rasa aman (need for self-security). Yang dimaksud oleh Maslow dengan kebutuhan akan rasa aman ini adalah sesuatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian, dan keteraturan dari keadaan lingkungannya. Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan akan rasa aman ini sangat nyata dan bisa diamati pada bayi dan anak-anak karena ketidakberdayaan mereka.
Pada dasarnya, kebutuhan rasa aman ini mengarah kepada 2 bentuk, yaitu : Kebutuhan keamanan jiwa dan Kebutuhan keamanan harta.
Kebutuhan rasa aman muncul sebagai kebutuhan yang paling penting kalau kebutuhan psikologis telah terpenuhi. Ini membutuhkan kebutuhan perlindungan, keamanan, hukum, kebebasan dari rasa takut dan cemas. Karena adanya kebutuhan inilah maka manusia menciptakan peraturan, undang-undang, mengembangkan kepercayaan dan sebagainya.

c.       Kebutuhan cinta memiliki-dimiliki
Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki (need for love and belongingness) ini adalah suatu kebutuhan yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan afektif atau ikatan emosional dengan individu lain, baik dengan sesama jenis maupun dengan yang berlainan jenis, di lingkungan keluarga ataupun di lingkungan kelompok di masyarakat. Bagi individu-individu, keanggotaan dalam kelompok sering menjadi tujuan yang dominan, dan mereka bisa menderita kesepian, terasing dan tak berdaya apabila keluarga, pasangan hidup, atau teman-teman meninggalkannya.  
Kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, muncul ketika kebutuhan sebelumnya telah dipenuhi secara rutin. Orang butuh dicintai dan pada gilirannya butuh menyatakan cintanya. Cinta disini berarti rasa sayang dan rasa terikat antara orang satu dan lainnya, lebih-lebih dalam keluarga sendiri. Diluar keluarga, misalnya teman sekerja, teman sekelas, dan lain-lain. Seseorang ingin agar dirinya disetujui dan diterima.

d.      Kebutuhan penghargaan
Pemenuhan kebutuhan penghargaan menjurus pada kepercayaan terhadap diri sendiri dan perasaan diri berharga. Kebutuhan akan sering kali diliputi frustasi dan konflik pribadi karena yang diinginkan orang bukan saja perhatian dan pengakuan dari kelompoknya, melainkan juga kehormatan dan status yang membutuhkan standar sosial, moral dan agama. Seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri serta lebih mampu dan selanjutnya lebih produktif.

e.       Kebutuhan aktualisasi diri
Kebutuhan akan aktualisasi diri atau mengungkapkan diri merupakan kebutuhan manusia yang paling tinggi dalam teori Maslow. Kebutuhan ini akan muncul apabila kebutuhan-kebutuhan dibawahnya sudah terpuaskan dengan baik. Maslow menandai kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai hasrat individu untuk menjadi seseorang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya.

Tabel Meta kebutuhan dari Maslow[5]
  1. kebenaran
  2. kebaikan
  3. keindahan/ kecantikan
  4. keseluruhan (kesatuan) / integrasi
  5. dikhotomi – transendensi
  6. berkehidupan
  7. keunikan
  8. kesempurnaan
  9. keniscayaan
  10. penyelesaian
  11. keadilan
  12. keteraturan
  13. kesederhanaan
  14. kekayaan
  15. tanpa susah payah
  16. bermain
  17. mencukupi diri sendiri

  1. Sifat-sifat Pengaktualisasi-Pengaktualisasi Diri
Sifat umum orang-orang yang mengaktualisasikan diri, menurut defenisi mereka telah cukup memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah secara teratur. Selain sifat umum, Maslow juga membicarakan sejumlah sifat khusus yang menggambarkan pengaktualisasi-pengaktualisasi diri.
1.      Mengamati Realitas secara efisien
Barang kali ciri yang paling menonjol yang terdapat pada orang-orang yang aktualisasi diri itu adalah kemampuannya untuk mengamati realitas dengan cermat dan efisien-efisien, melihat realitas apa adanya tanpa dicampuri oleh keinginan-keinginan atau harapan-harapannya.[6] Karena memiliki kemampuan mengamati secara efisien, maka orang-orang yang aktualisasi diri bisa menemukan kebohongan, kepalsuan, dan kecurangan pada diri orang lain dengan mudah.

2.      Penerimaan atas diri sendiri, orang lain, dan kodrat
Orang-orang yang self-actualized menaruh hormat kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain, serta mampu menerima kodrat dengan segala kekurangan dan kelemahannya secara tawakkal. Selain itu mereka juga bebas dari perasaan berdosa yang berlebihan, perasaan malu yang tak beralasan, dan dari perasaan cemas yang melemahkan.

3.      Spontan sederhana dan wajar
Tingkah laku orang yang self-actualized adalah spontan, sederhana, tidak dibuat-buat atau wajar, dan tidak terikat. Spontanitas, kesederhanaan, dan kewajaran tingkah lakunya itu bersumber dari dalam pribadinya, dan bukan sesuatu yang hanya nampak di permukaan.

4.      Fokus pada masalah
Orang-orang yang mengaktualisasikan diri yang dipelajari Maslow, melibatkan diri pada pekerjaan. Tanpa pengecualian, mereka memiliki suatu perasaan akan tugas yang menyerap mereka dan mereka mengabdikan kebanyakan energi mereka kepadanya. Ini tidak berarti bahwa mereka egosentris, melainkan lebih berarti bahwa mereka berorientasi pada masalah melampaui kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Orang-orang yang self-actualized juga memperhatikan masalah-masalah filsafah dan etika secara mendalam.[7] Perhatian-perhatiannya terhadap masalah-masalah filsafah dan etika ini menjadikannya hidup dalam kerangka acuan yang seluas-luasnya, kurang dirisaukan oleh hal-hal yang remeh dan tak berarti.

5.      Pemisahan diri dan kebutuhan privasi
Kebutuhan privasi pada orang-orang yang self-actualized lebih besar daripada kebutuhan privasi kebanyakan orang. Dalam pergaulan sosial mereka sering di anggap memisahkan diri, hati-hati, sombong, dan dingin. Ini disebabkan orang-orang yang self-actualized tidak membutuhkan orang lain dalam kacamata persahabatan biasa, dan mereka sepenuhnya percaya atas potensi-potensi dan otonomi yang mereka miliki.

6.      Berfungsi secara otonom
Erat hubungannya dengan kebutuhan akan privasi dan independensi ialah preverensi dan kemampuan pengaktualisasi-pengaktualisasi diri untuk berfungsi secara otonom terhadap lingkungan sosial dan fisik. Karena mereka tidak lagi didorong oleh motif-motif kekurangan, maka mereka tidak tergantung pada dunia yang nyata untuk kepuasan mereka karena pemuasan dari motif-motif pertumbuhan datang dari dalam. Perkembangan mereka tergantung pada potensi-potensi dan sumber-sumber dari dalam diri mereka sendiri.

7.      Kesegaran dan Apresiasi
Maslow menemukan bahwa para subjeknya menunjukkan kesanggupan untuk menghargai bahkan terhadap hal-hal yang biasa sekalipun. Menurut Maslow, mereka menghargai hal-hal yang pokok dalam kehidupan dengan rasa kagum, gembira dan bahkan heran, meski bagi orang lain hal-hal tersebut membosankan bagi orang-orang yang self-actualized kehidupan yang rutin akan tetap merupakan fenomena baru yang mereka hadapi dengan “keharuan”, kesegaran, dan apresiasi.

8.      Pengalaman puncak atau Pengalaman mistik
Maslow mengamati bahwa orang-orang yang self-actualized umumnya memiliki apa yang ia sebut pengalaman puncak atau pengalaman mistik. Pengalaman puncak menunjuk kepada momen-momen dari perasaan yang mendalam dan meningginya tegangan seperti yang dihasilkan oleh relaksasi dan orgasme seksual. Menurut Maslow, pengalaman puncak ini diperoleh subjek dari kreativitas, pemahaman, penemuan dan penyatuan diri dengan alam.

9.      Minat sosial
Meskipun orang-orang yang self-actualized itu kadang-kadang merasa terganggu, sedih dan marah oleh cacat atau kekurangan umat manusia, mereka mengalami ikatan perasaan yang mendalam dengan sesamanya. Konsekuensinya, mereka memiliki hasrat yang tulus untuk membantu memperbaiki sesamanya. Bagi orang-orang yang self-actualized, bagaimanapun cacat atau bodohnya, manusia adalah sesama yang selalu mengundang simpati dan persaudaraan.

10.  Hubungan Antarpribadi
Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri mampu mengadakan hubungan yang lebih kuat dengan orang-orang lain daripada orang-orang yang memiliki kesehatan jiwa yang biasa. Mereka mampu memiliki cinta yang lebih besar dan persahabatan yang lebih dalam, dan identifikasi yang lebih sempurna dengan individu-individu lain. Akan tetapi hubungan antar pribadi mereka, walaupun lebih kuat, namun jumlahnya lebih sedikit daripada hubungan antarpribadi dari orang-orang yang tidak mengaktualisasikan diri.

11.  Berkarakter demokratis
Maslow mengatakan bahwa orang-orang yang self-actualized memiliki karakter yang demokratis dalam pengertiannya yang terbaik. Karena mereka bebas dari prasangka, maka mereka cenderung menaruh hormat kepada semua orang. Lebih dari itu mereka bersedia untuk belajar dari siapa saja yang bisa mengajar mereka tanpa memandang derajat, pendidikan, usia, ras, ataupun keyakinan-keyakinan politik.

12.  Perbedaan antara sarana dan tujuan, antara baik dan buruk
Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri membedakan dengan jelas antara sarana dan tujuan. Bagi mereka, tujuan atau cita-cita jauh lebih penting dari pada sarana untuk mencapainya. Akan tetapi, hal ini lebih sulit karena kegiatan-kegiatan dan pengalaman-pengalaman tertentu yang merupakan sarana bagi orang-orang yang kurang sehat kerap kali dianggap oleh pengaktualisasi-pengaktualisasi diri sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri juga sanggup membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah.

13.  Rasa humor yang filosofis
Humor pengaktualisasi-pengaktualisasi diri bersifat filosofis, humor yang menertawakan manusia pada umumnya, tetapi bukan kepada seorang individu yang khusus. Humor ini kerap kali bersifat instruktif, yang dipakai langsung kepada hal yang dituju dan juga menimbulkan tertawa. Itu adalah semacam humor yang bijaksana yang mengakibatkan suatu senyuman dan anggukan tanda mengerti daripada gelak tertawa yang keras.

14.  Kreativitas
Kreativitas merupakan suatu sifat yang akan diharapkan seseorang dari pengaktualisasi-pengaktualisasi diri. Mereka adalah asli, inventif dan inovatif, meskipun tidak selalu dalam pengertian menghasilkan sesuatu karya seni. Kreativitas lebih merupakan suatu sikap, suatu ungkapan kesehatan psikologis dan lebih mengenai cara bagaimana kita mengamati dan bereaksi terhadap dunia dan bukan mengenai hasil-hasil yang sudah selesai dari suatu karya seni. Jadi, orang-orang dalam pekerjaan apa sja dapat memperlihatkan kreativitas.
Bagi Maslow bukanlah suatu kejutan apabila ia menemukan bahwa orang-orang yang dipelajarinya ini yang ia sebut sebagai orang-orang yang self-actualized, memiliki ciri kreatif. Maslow mengartikan kreativitas pada orang-orang yang self-actualized sebagai suatu bentuk tindakan yang asli, naif, dan spontan sebagaimana yang dijumpai pada anak-anak yang masih polos dan jujur.[8]

15.  Resistensi terhadap Inkulturasi
Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri dapat berdiri sendiri dan otonom, mampu melawan dengan baik pengaruh-pengaruh sosial, untuk berfikir atau bertindak menurut cara-cara tertentu. Mereka mempertahankan otonomi batin, tidak terpengaruh oleh kebudayaan mereka, dibimbing oleh diri mereka bukan oleh orang-orang lain.
Akan tetapi mereka tidak terus menentang kebudayaan. Mereka tidak sengaja melanggar aturan-aturan sosial untuk memperhatikan independensi hanya apabila timbul suatu soal yang sangat penting bagi pribadi (biasanya suatu masalah moral atau etis), mereka akan terus terang menentang aturan-aturan dan norma-norma masyarakat.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Abraham Harold Maslow adalah seorang filsuf dari NewYork, ia seorang filsuf yang mencetus Psikologi Humanistik. Dia dapat juga dijuluki sebagai behavioris. Karena tidak puas dengan Psikologi behavioristik dan psikoanalisis sehingga ia mencari alternatif psikologi yang fokusnya adalah manusia dengan ciri-ciri eksistensinya.
            Beberapa teori yang diteliti secara alternatif seperti :
1. Psikologi Humanistik
            Yaitu mengobjek manusia sebagai salah satu aliran filsafat modern yang berakar, yakni eksistensisme.
2. Sifat-sifat aktualisasi diri
            Yaitu dimana manusia mempunyai dorongan untuk lebih berkembang. Seperti mengamati, penerimaan diri sendiri, spontan sederhana dan wajar, fokus pada masalah pemisahan diri dan kebutuhan privasi, berfungsi secara otonom, kesegaran dan apresiasi, pengalaman, minat sosial, hubungan antar pribadi, berkarakter demokratis, perbedaan antara baik dan buruk, rasa humor yang filosofis, kreativitas, resistensi terhadap inkulturasi.
            Dari kesimpulan di atas, kita bisa menelaah lebih terperinci tentang bagasi yang dicetuskan oleh Bapak Psikologi kita yaitu Abraham Harold Maslow, yang mengarahkan arti, fungsi, jabatan manusia dalam kehidupan yang selalu ingin berkembang.







B. Saran
Setelah melalui studi pustaka dan diskusi kelompok selesailah makalah ini. Sepenuhnya kami sadar akan banyaknya kekurangan di beberapa titik. Banyak penafsiran-penafsiran serta pendapat yang berbeda dan itu semua tidak lepas dari sifat fitrah dari penulis sebagai manusia yang memiliki banyak keterbatasan. Jadi maklumlah kiranya, jika terdapat berbagai pendapat yang penulis simpulkan. Oleh semua itu, jika sampai terdapat beberapa perbedaan pendapat, tentunya bisa di pelajari. Maka, besar harapan kami adanya respon dari pembaca terhadap makalah ini.
Lepas dari itu semua kami berharap makalah ini dapat memberikan pengetahuan baru bagi siapapun pembacanya. Selanjutnya kami ingin berterima kasih kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah sederhana ini. Syukron. . .  . . . .     



DAFTAR PUSTAKA

E. Koswara, Teori-Teori Kepribadian, ed. II, Bandung : Eresco, 1991.
Sarwono, Sarlito W., Berkenalan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 2000.
Schultz, Duane, Psikologi Pertumbuhan Model-Model Kepribadian Sehat, New York : Kanisius, 1977.
Sobur, Alex, Psikologi Umum, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2003.
Walgito, Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta : Andi, 2004.






















[1] Schultz, Duane, Psikologi Pertumbuhan Model-Model Kepribadian Sehat, New York : Kanisius, 1977. Hal. 86.
[2] Walgito, Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta : Andi, 2004. Hal.78.
[3] Sobur, Alex, Psikologi Umum, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2003. Hal. 273.
[4] Sobur, Alex, Ibid., Hal. 274.
[5] Sarwono, Sarlito W., Berkenalan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 2000. Hal 171.
[6] E. Koswara, Teori-Teori Kepribadian, ed. II, Bandung : Eresco, 1991. Hal. 138
[7] E. Koswara, ibid.,. Hal. 140.
[8] E. Koswara, op cit., Hal.145.

2 komentar: