Pages

Sabtu, 09 April 2011

Etika Dalam Pandangan Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakkan nilai-nilai kemanusiaan atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang tidak dapat ditawar, dia hadir seiring tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama, begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas.[1]
Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara komprehenship dan seyogyanya harus diposisikan sebagai sebuah persfektif tanpa menapikan yang lain. Keberagamaan yang berbeda (defernsial) antara satu dengan yang lainnya merupakan salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Karena Islam itu lahir dengan pondasi keimanan, syariat,  muamalat dan ihsan. Keimanan adalah inti pemahaman manusia tehadap sang pencipta. Syariat adalah jalan menuju penghambaan manusia kepada tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah keutamaan manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan harmonis yang bermuara pada kesalehan sosial.
Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagamaan manusia yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas) tentu akan didapat adalah perbedaan cara pandang (persfektif) dan sangat tergantung dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah mansia yang diberikan akan mengarakan kepada kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam konteks ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan”  yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan melahirkan sebuah prilaku, yaitu moral atau etika.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas di sini adalah:
1.      Pengertian Etika
2.      Etika Dalam Pandangan Islam
3.      Konsep Etika Islam
4.      Tokoh dalam Etika Islam

C.     Landasan Masalah
Makalah ini didasarkan dari buku-buku yang mempelajari tentang Ilmu Pendidikan Islam dan khususnya mengenai Konsep Etika Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Etika
            Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim difahami  sebagai suatu  teori  ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang  baik  dan  apa  yang  buruk  berkenaan  dengan  perilaku manusia.  Dengan  kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori  mengenai  penyelenggaraan  hidup yang  baik.  Persoalan  etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau  kembali  secara  kritis.  Moralitas   berkenaan   dengan   tingkah  laku  yang  konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level  teori.  Nilai-nilai  etis yang   difahami,   diyakini,  dan  berusaha  diwujudkan  dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos.
Sebagai  cabang  pemikiran  filsafat,  etika  bisa   dibedakan manjadi  dua:  obyektivisme  dan  subyektivisme.  Yang pertama berpandangan bahwa  nilai  kebaikan  suatu  tindakan  bersifat obyektif,  terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan  apa  yang  disebut  faham  rasionalisme  dalam etika.  Suatu  tindakan  disebut  baik,  kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau  karena  sejalan  dengan kehendak  masyarakat,  melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung  aliran  ini  ialah  Immanuel  Kant, sedangkan dalam Islam pada batas tertentu ialah aliran Muitazilah.
Aliran kedua ialah  subyektifisme,  berpandangan  bahwa  suatu tindakan  disebut  baik  manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa  saja  berupa subyektifisme  kolektif,  yaitu  masyarakat,  atau  bisa  saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika  ini  terbagi  kedalam beberapa  aliran,  sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya Asy’ariyah. Menurut  faham  Asy’ariyah,  nilai  kebaikan  suatu   tindakan bukannya  terletak  pada obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy’ariyah berpandangan bahwa menusia  itu  bagaikan  ‘anak  kecil’  yang  harus  senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu  manusia  tidak  mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.[2]

 B. Etika Dalam Pandangan Islam
Kalau  kita  sepakati  bahwa  etika  ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk,  bagaimana  halnya dengan   teori   etika   dalam  Islam.  Sedangkan  telah disebutkan di muka, kita  menemukan  dua  faham,  yaitu  faham rasionalisme   yang   diwakili   oleh   Mu’tazilah  dan  faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy’ariyah. Munculnya perbedaan itu memang  sulit  diingkari  baik  karena pengaruh  Filsafat  Yunani  ke dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Qur’an  sendiri  yang  mendorong  lahirnya perbedaan  penafsiran.  Di  dalam  al-Qur’an pesan etis selalu saja   terselubungi   oleh   isyarat-isyarat   yang   menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua  cirri utama.  Pertama,  etika Islam tidak menentang fithrah manusia. Kedua,  etika  Islam  amat  rasionalistik.   Sekedar   sebagai perbandingan  baiklah akan saya kutipkan pendapat Alex Inkeles mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap berbagai  teori  dan  definisi  mengenai  modernisasi, Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut, yaitu:  kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba metode-metode baru, kesediaan buat   menyatakan   pendapat,  kepekaan  pada  waktu  dan  lebih  mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu yang telah  lampau,  rasa  ketepatan waktu  yang  lebih  baik, keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi, kecenderungan memandang dunia  sebagai  suatu  yang bisa dihitung, menghargai kekuatan ilmu dan teknologi, dan  keyakinan  pada  keadilan  yang  bisa diratakan.
Rasanya  tidak  perlu  lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang dikemukakan Inkeles  dan  diklaim  sebagai  sikap  modern  itu memang  sejalan  dengan etika al-Qur'an. Dalam diskusi tentang hubungan antara  etika  dan  moral,  problem  yang  seringkali muncul  ialah  bagaimana melihat peristiwa moral yang bersifat partikular dan individual dalam perspektif  teori  etika  yang bersifat rasional dan universal. Islam  yang  mempunyai  klaim  universal  ketika  dihayati dan direalisasikan  cenderung  menjadi  peristiwa  partikular  dan individual.  Pendeknya, tindakan moral adalah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral  ini  akan menjadi  pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama terjadi konflik nilai. Misalnya  saja,  nilai  solidaritas  kadangkala berbenturan  dengan  nilai  keadilan dan kejujuran. Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi amat  penting.  Yakni  bagaimana  mempertanggungjawabkan suatu tindakan subyektif dalam kerangka nilai-nilai etika  obyektif, tindakan  mikro  dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam acuan sikap batin.
Dalam persfektif psikologi, manusia terdiri dari tiga unsur penting yaitu, Id, Ego, dan Superego, sedangkan dalam pandangan Islam ketiganya sering dipadankan dengan nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsu mutmaninah. Ketiganya merupakan unsur hidup yang ada dalam manusia yang akan tumbuh berkembang seiring perjalanan dan pengalaman hidup manusia. Maka untuk menjaga agar ketiganya berjalan dengan baik, diperlukan edukasi yang diberikan orang tua kepada anaknya dalam bentuk pemberian muatan etika yang menjadi ujung tombak dari ketiga unsur di atas.[3] Diantara pemberiaan edukasi etika kepada anak diarahkan kepada beberapa hal di bawah ini:
  1. Pembiasaan kepada hal-hal yang baik dengan contoh dan perilaku orang tua dan tidak banyak menggunakan bahasa verbal dalam mecari kebenaran dan sudah barang tentu sangat tergantung pada sisi historisitas seseorang dalam hidup dan kehidupan.
  2. Bila anak sudah mampu memahami dengan suatu kebiasaan, maka dapat diberikan arahan lanjut dengan memberikan penjelasan apa dan mengapa dan yang berkaitan dengan hokum kausalitas (sebab akibat) Pada masa dewasa, anak juga tidak dilepas begtu saja, peran orang tua sebagai pengingat dan pengarah tidak harus putus, tanpa harus ada kesan otoriter, bahkan mengajak anak untuk diskusi tentang pemahaman keberagamaan.
  3. Pada masa dewasa, anak juga tidak dilepas begtu saja, peran orang tua sebagai pengingat dan pengarah tidak harus putus, tanpa harus ada kesan otoriter, bahkan mengajak anak untuk diskusi tentang pemahaman keberagamaan.Pembiasaan kepada hal-hal yang baik dengan contoh dan perilaku orang tua dan tidak banyak menggunakan bahasa verbal dalam menyampaikan baik dan buruk sesuatu, manfaat dan mudharatnya, sesat dan tidaknya.

Etika Islam memiliki aksioma-aksioma, yaitu :[4]
a.       Unity (persatuan): konsep tauhid, aspek soskpl dan alam, semuanya milik Allah, dimensi vertikal, hindari diskriminasi di segala aspek, hindari kegiatan yang tidak etis
b.      Equilibrium (keseimbangan): konsep adil, dimensi horizontal, jujur dalam bertransaksi, tidak merugikan dan tidak dirugikan.
c.       Free Will (kehendak bebas): kebebasan melakukan kontrak namun menolak laizez fire (invisible hand), karena nafs amarah cenderung mendorong pelanggaran sistem responsibility (tanggung jawab), manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Bila orang lain melakukan hal yang tidak etis tidak berarti boleh ikut-ikutan.
d.      Benevolence (manfaat/kebaikan hati): ihsan atau perbuatan harus yang bermanfaat.

C. Konsep Etika Islam
Konsep etika Islam menurut Hammudah Abdallati berpusat pada
beberapa prinsip, diantaranya :[5]
1.      Tuhan sebagai pencipta dan sumber kebaikan, kebenaran dan kebagusan.
2.      manusia adalah agen yang bertanggung jawab, bermartabat dan berharga nagi pencipta.
3.      Tuhan mencipta segala sesuatu duntuk manusia,
4.      Tuhan tidak memberikan beban yang melampaui kemampuan manusia,
5.      jalan tengah merupakan jaminan bagi integritas dan moralitas tinggi,
6.      semua hal diizinkan untuk manusia kecuali yang dilarangnya,
7.      puncak tanggung jawab manusia adalah Tuhan.
Prinsip-prinsip tersebut memberikan gambaran relasi Tuhan-manusia-
alam. Tuhan sebagai pencipta, manusia sebagai pusat ciptaan, alam adalah
ciptaan yang berfungsi sebagai obyek bagi pusat ciptaan. Relasi Tuhan-
manusia adalah relasi ketundukan, manusia harus tunduk pada Tuhan dan harus
bertanggung jawab kepadaNya atas perlakuannya terhadap alam.
Dalam memberikan amanat pengelolaan alam kepada manusia, Tuhan
tidak bersikap semena-mena. Manusia diberi anugerah berupa akal dan wahyu.
Demikian pula Tuhan tidak memberikan beban yang melebihi kemampuan manusia.
Dengan akal manusia diharapkan dapat mengenal potensi diri, alam sekitar,
mengetahui watak dan hukum yang berlaku dalam alam dan kehidupan. Dengan
wahyu manusia diharapkan dapat bertindak dan mengatur alam dengan benar
sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.



D.    Tokoh dalam Etika Islam
Ibnu Miskawaih dikenal sebagai bapak etika Islam. Ia telah telah merumuskan dasar-dasar etika di dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlaq). Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti peri keadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Sehingga dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan khuluq yang baik.
Kata dia, ada kalanya manusia mengalami perubahan khuluq sehingga dibutuhkan aturan-aturan syariat, nasihat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun. Ibnu Maskawaih memperhatikan pula proses pendidikan akhlaq pada anak. Dalam pandangannya, kejiwaan anak-anak seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dan jiwa manusia yang berakal.[6]











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etika dalam islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan agung yang bukan saja beriskan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan manusia terhadap Tuhan, Manusia dan alam semesta dari sudut pangan historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk menjungjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan social hanya dan untuk mengabdi pada Tuhan, buka ada pamrih di dalamnya. Di sinilah pean orang tua dalam memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapinya dengan bijak dan damai sbagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain)

B. Saran
Setelah melalui studi pustaka, banyak penafsiran-penafsiran serta pendapat yang berbeda dan itu semua tidak lepas dari sifat fitrah dari penulis sebagai manusia yang memiliki banyak keterbatasan. Jadi maklumlah kiranya, jika terdapat berbagai pendapat yang penulis simpulkan. Oleh semua itu, jika sampai terdapat beberapa perbedaan pendapat, tentunya bisa di pelajari. Maka, besar harapan kami adanya respon dari pembaca terhadap makalah ini. Selanjutnya kami ingin berterima kasih kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah sederhana ini. Syukron. . .




DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Mudlor, Etika Dalam Islam, Surabaya : Al-Ikhlas.
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas dan Historitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
Hammudah Abdallati. Islam In Focus. Aligarh: Cresent Publishing Comp., tanpa tahun.
Herman, Etika sebagai Filsafat, Jakarta : Rajawali Pers, 2008.
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, Jakarta : Paramadina, 1982.
Qomarudin Hidayat, Etika Dalam Kitab Suci Dan Relevansinya Dalam Kehidupan Modern Studi Kasus Di Turki, Jakarta : Paramadina, 2008.







[1] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas dan Historitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, hal. V.
[2] Qomarudin Hidayat, Etika Dalam Kitab Suci Dan Relevansinya Dalam Kehidupan Modern Studi Kasus Di Turki, Jakarta : Paramadina, 2008.
[3] Ahmad Mudlor, Etika Dalam Islam, Surabaya : Al-Ikhlas, hal.  155.
[4] Herman, Etika sebagai Filsafat, Jakarta : Rajawali Pers, 2008. hal. 56.
[5] Hammudah Abdallati. Islam In Focus. Aligarh: Cresent Publishing Comp., tanpa tahun. Hal. 142.
[6] Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, Jakarta : Paramadina, 1982, hal. 75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar