BAB I
PENDAHULUAN
Layanan konseling
merupakan layanan yang membantu kliennya menyadari potensi kemudian secara
mandiri dapat menyelasaikan masalah. Dalam pengertian itu bagi klien
kepercayaan merupakan dasar berpijak dalam memanfaatkan layanan konseling.
Bagaimana seseorang dapat mempercayai layanan konseling tergantung bagaimana ia
memahami layanan itu secara tepat dan benar. Kepercayaan timbul dari keyakinan
dan pemahaman bahwa layanan konseling memiliki orientasi, prinsip, fungsi,
asas, dan landasan yang kuat dan didasarkan pada kebutuhan klien tersebut.
Pemahaman itu tidak
serta merta timbul dari dalam diri klien. Peran seorang konselor sangat
menentukan, baik konselor sebagai personal yang artinya pemahamannya sendiri
terhadap orientasi, prinsip, fungsi, asas dan landasan konseling maupun
perannya sebagai konselor itu sendiri. Ketika melaksanakan layanan seyogyanya
konselor mampu memberikan pelayanan yang terbaik dengan mengaplikasikan layanan
berdasarkan fungsi, prinsip, asas dan landasan konseling yang telah
dipahaminya.
Pelayanan
konseling diselenggarakan dengan orientasi, prinsip dan asas serta landasan
yang secara keseluruhan terpadu dalam setiap kegiatan layanan dan aspek-aspek
pendukungnya. Segenap orientasi, prinsip dan asas serta landasan tersebut
terwujudkan dalam kaidah-kaidah keilmuan dan kompetensi yang dipelajari dengan
sebaik-baiknya. Berikut kami
sajikan kajian tentang orientasi, prinsip, fungsi, asas dan landasan yang bisa
menambah pengetahuan para calon akademisi konseling yang kami buat dalam bentuk
makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pelayanan konseling diselenggarakan dengan orientasi,
prinsip dan asas serta landasan yang secara keseluruhan terpadu dalam setiap
kegiatan layanan dan aspek-aspek pendukungnya. Segenap orientasi, prinsip dan asas
serta landasan tersebut terwujudkan dalam kaidah-kaidah keilmuan dan kompetensi
yang dipelajari dengan sebaik-baiknya.
A. Orientasi
Yang dimaksud dengan orientasi
di sini adalah arah perhatian dan fokus dasar yang setiap kali harus menjadi
pokok perhatian dalam pelaksanaan pelayanan konseling. Ada tiga orientasi yang
menjadi perhatian utama, yaitu:
1.
Orientasi
individual, artinya setiap layanan konseling terutama tertuju kepada
subjek yang dilayani sebagai individu. Perorangan
subjek yang dilayani dengan segenap keindividualannya itulah titik tuju
layanan. Dalam layanan melalui format kelompok dan klasikal pun, arah kepada perorangan
itu menjadi fokus. Lebih lanjut, hasil layanan juga terfokus kepada perolehan
masing-masing perorangan subjek yang dilayani.
2.
Orientasi
perkembangan, artinya setiap layanan konseling memperhatikan
karakteristik subjek yang dilayani dari sisi tahap perkembangannya. Perkembangan
merupakan suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan sosial psikologi
manusia pada posisi harmonis di dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas dan
kompleks. Oleh Havighurst dalam Sunarto (2006:43), perkembangan tersebut
dinyatakan sebagai tugas yang harus dipelajari, dijalani, dan dikuasai oleh
setiap individu dalam perjalanan hidupnya. Masing-masing orang berbeda dalam
perkembangan. Selain itu meskipun dua orang subjek berada pada tahap
perkembangan yang sama, aspek keindividualan (individual differences) tetap harus diperhatikan. Dengan demikian
orientasi perkembangan dan orientasi individual dipadukan menjadi satu.
3.
Orientasi
permasalahan, artinya setiap layanan konseling terfokus pada
permasalahan yang sedang dialami dan/atau yang mungkin (dapat) dialami oleh
subjek yang dilayani. Hal ini secara langsung terkait dengan konsep KES dan
KES-T. Pelayanan konseling tidak lain adalah mengembangan KES dan mencegah
terjadinya KES-T, serta menangani KES-T apabila permasalahan memang sedang
dialami oleh subjek. Terkait dengan orientasi terdahulu, maka ketiga orientasi,
yaitu orientasi individual, perkembangan dan permasalahan dipadukan menjadi
satu.
B. Fungsi
Memperhatikan ketiga orientasi di
atas, yang terpadu menjadi satu, fungsi
pelayanan konseling adalah:
1. Pemahaman, yaitu fungsi pelayanan
konseling membantu klien agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya)
dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan
pemahaman ini, klien diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara
optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan
konstruktif.
2.
Pemeliharaan
dan pengembangan, yaitu fungsi layanan konseling untuk memelihara dan
mengembangkan kondisi positif (dalam kaitannya dengan pancadaya) yang ada pada
diri subjek yang dilayani dan mengarahkannya kepada kehidupan perilaku KES. Menurut
Sunaryo Kartadinata, salah satu visi bimbingan dan konseling adalah
pengembangan, karena titik sentral tujuan bimbingan dan konseling adalah
perkembangan optimal dan strategi upaya pokoknya adalah memudahkan untuk
berkembang bagi individu. Menurut South Carolina Guidance and
Counseling Departement (1999), aspek yang harus dikembangkan melalui
pelayanan konseling pada pelajar, antara
lain:
a)
Learning
To Live (Personal/Social Development)
The development of
personal/social standards is an integral part of an individual’s pursuit of success in life. To understand and
respect self, relate positively to others, make informed and safe decisions, cope effectively with
change, and become responsible citizens are essential to this process.
b)
Learning
To Learn (Academic Development)
The development of academic
and educational standards is an integral part of an individual’s pursuit of life-long learning. Being
able to achieve educational success, identify
and work toward goals, manage
information, organize time, and locate resources are essential to this process.
c)
Learning
To Work (Career Development)
The development of career
standards is an integral part of an individual’s pursuit of success in the world of work. Being able to
develop the knowledge and skills to make realistic career plans, make a successful transition from
school to work, achieve interdependence,
and compete in a global economy are
essential to this process.
Ketiga aspek perkembangan
tersebut harus diseleraskan satu dengan yang lain. Perkembangan personal dan
sosial tentunya akan berpengaruh pada pendidikan maupun karir seseorang. Begitu
juga perkembangan karir pada umumnya membutuhkan kematangan personal, sosial,
dan pendidikan.
3.
Pencegahan,
yaitu fungsi layanan konseling untuk mencegah timbul/berkembangnya kondisi
negatif pada diri subjek yang dilayani (yang mengakibatkan KES-T). Sesuai
dengan Dorset county council (2002:13), “Counselling is concerned
with prevention and de-escalation of a problem and focuses on enabling the
person to develop self-esteem and the internal resources to cope with their
difficulties more effectively”. Menurut Makinde (2007), salah satu peran
konselor adalah:”Preventive role: to anticipate, circumvent and if
possible forestall difficulties which may arise
in future”.
4.
Pengentasan,
yaitu fungsi pelayanan konseling untuk mengatasi kondisi negatif/KES-T pada
diri subjek yang dilayani sehingga menjadi positif/KES (kembali). Menurut
lunenberg (2010):
“Even those students who have chosen an
appropriate educational program for themselves may have problems that require
help. A teacher may need to spend from one-fifth to one-third of his time with
a few pupils who require a great deal of help, which deprives the rest of the
class from the teacher's full attention to their needs. The counselor, by
helping these youngsters to resolve their difficulties, frees the classroom
teacher to use his time more efficiently”
Pada setting pendidikan formal, seorang
konselor harus mampu memainkan fungsi ini. Permasalahan-permasalahan peserta
didik, baik yang berkenaan dengan pribadi, belajar, sosial, karir, agama maupun
kehidupan berkeluarga dapat dientaskan melalui melalui pelayanan konseling.
5. Advokasi, yaitu fungsi layanan konseling untuk menegakkan
kembali hak (hak-hak) subjek yang dilayani yang
terabaikan dan/atau dilangar/dirugikan pihak lain, termasuk
dalam lingkungan sekolah. Sesuai dengan Manitoba Education, Citizenship and
Youth (2007):
“One of the roles of school counsellors is advocacy, both
in terms of promoting a comprehensive and developmental approach to guidance
and counselling services and in terms of supporting students as they progress
through the education process and through life’s changes. School counsellors
work with students, school administration, teachers, clinicians, parents, and
the community to advocate for positive solutions to emerging concerns and
difficult situations. These concerns and situations may range from relatively
minor issues to serious, seemingly life-altering events. Common advocacy
opportunities arise when students face suspension or expulsion from school,
when students seek assistance in clarifying their position on educational
difficulties with staff and parents, and when students wish to engage in
mediation or restitution activities.”
Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa konselor sekolah bahkan dapat
memberikan advokasi bagi siswa-siswa yang ingin dikeluarkan oleh pihak sekolah
C. Prinsip
Prinsip
merupakan kaidah dasar yang perlu selalu diperhatikan dalam penyelenggaraan
pelayanan konseling. Apabila orientasi
konseling yang dikemukakan di atas memberikan arah perhatian dan fokus dasar
tentang ke mana layanan konseling ditujukan, prinsip konseling menekankan pentingnya kaidah-kaidah pokok yang
secara langsung dan konkrit mendasari seluruh praktik pelayanan konseling.
1. Prinsip integrasi pribadi, menekankan
pada keutuhan pribadi subjek yang dilayani dari segenap sisi dirinya dan
berbagai kontekstualnya. Dari sisi hakikat manusia misalnya, unsur-unsur
berikut mendapat penekanan :
Aktualisasi unsur-unsur hakikat
manusia itu seluruhnya berada dalam pengembangan pancadaya (daya takwa, cipta,
rasa, karsa dan karya) serta dalam bingkai kelima dimensi kemanusiaan (dimensi
kefitrahan, keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagaman). Ketiga
orientasi pelayanan konseling (orientasi individual, perkembangan dan
permasalahan) sepenuhnya diarahkan bagi terbentuknya pribadi yang
terintegrasikan itu melalui ditegakkannya fungsi-fungsi pemahaman, pemeliharaan
dan pengembangan, pencegahan, pengentasan, dan advokasi.
2. Prinsip kemandirian, menekankan
pengembangan pribadi mandiri subjek yang dilayani. Kelima ciri kemandirian tersebut
antara
lain memahami dan menerima diri sendiri secara objektif, positif dan dinamis,
memahami dan menerima lingkungan secara objektif, positif, dan dinamis, mampu mengambil keputusan,
mengarahkan diri sendiri, dan mewujudkan diri sendiri.
3. Prinsip sosio-kultural, menekankan
pentingnya subjek yang dilayani berintegrasi dengan lingkungan, yaitu
lingkungan yang langsung terkait dengan
kehidupannya sehari-hari, serta berbagai kontekstual dalam arti yang
seluas-luasnya. Pelayanan konseling mengintegrasikan dan mengharmonisasikan
subjek yang dilayani dengan lingkungan sosio-budayanya.
4. Prinsip pembelajaran, menekankan bahwa
layanan konseling adalah proses pembelajaran. Subjek yang dilayani menjalani
proses pembelajaran untuk memperoleh hasil belajar tertentu yang berguna dalam rangka
terkembangnya KES dan tertanganinya
KES-T.
5. Prinsip efektif/efisien, menekankan bahwa
upaya pelayanan yang diselenggarakan oleh konselor harus menghasilkan sesuatu
untuk pengembangan KES dan penanganan KES-T subjek yang dilayani. Pelayanan
konseling terarah pada keberhasilan yang optimal. Termasuk ke dalam upaya
optimalisasi pelayanan konseling adalah kerjasama dengan pihak-pihak lain
sehingga berbagai sumber daya dapat dikerahkan untuk kepentingan subjek yang
dilayani.
Kelima
prinsip di atas terpadu menjadi satu, tidak diterapkan secara terpisah,
meskipun kelimanya bisa dipilah. Kelima prinsip tersebut juga terpadu dengan
ketiga orientasi konseling untuk menegakkan kelima fungsi konseling.
D. Asas
Asas konseling merupakan
kondisi yang mewarnai suasana jalannya pelayanan. Apabila asas yang dimaksudkan
tidak terwujud akan sangat dikhawatirkan layanan konseling yang terselenggara
akan mengalami berbagai kekurangan atau bahkan kesulitan, misalnya kurang
terarah, kurang gairah, kurang berhasil, atau bahkan mubazir. Berbagai asas
dapat diidentifikasi, di sini hanya dikemukakan lima yang pokok-pokok saja.
1.
Asas
kerahasiaan, yaitu
asas konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang
konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan
yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini
konselor berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan
itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin. Konselor harus
mampu berkomitmen sebagai berikut:
Saya,
......... (nama konselor)
Mampu dan
bersedia, menerima, menyimpan, menjaga, memelihara dan merahasiakan semua data
dan keterangan dari klien saya atau dari siapapun juga, yaitu data atau keterangan
yang tidak boleh dan/atau tidak layak diketahui oleh orang lain.
Dalam Islam, rahasia merupakan suatu hal yang harus
dijaga, bahkan termasuk amanah. Seorang muslim harus pandai
sekali menjaga rahasia temannya, penuh amanat apabila diberi titipan, dan penuh
tanggung jawab terhadap keselamatan. Bahkan jika seorang konselor dapat menutup
aib ataupun menjaga rahasia klien maka celanya dapat ditutup oleh Allah SWT.
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Barangsiapa menutupi cela saudaranya, maka Allah Ta’ala akan menutupi
celanya di dunia dan akhirat.” (HR Ibnu Majah)”.
2. Asas kesukarelaan, menekankan
pentingnya kemauan subjek yang dilayani untuk mengikuti kegiatan pelayanan.
Makin tinggi tingkat kemauan atau motivasi untuk memperoleh
layanan, makin tinggi pula tingkat keterlibatan subjek dalam layanan konseling.
Kondisi yang ideal ialah apabila subjek benar-benar sukarela dengan kemauan
sendiri (self-referal). Untuk bisa
sukarela seperti itu subjek yang dilayani, selain memahami dengan baik tujuan
pelayanan konseling, terlebih lagi meyakini adanya jaminan dari konmselor
tentang diberlakukannya asas kerahasiaan.
3. Asas kegiatan, menekankan
pentingnya peran aktif subjek yang dilayani dalam pelaksanaan layanan
konseling. Bukan konselor saja yang aktif, namun terlebih lagi subjek yang
dilayani. Makin aktif subjek yang dilayani makin ada jaminan layanan itu akan
sukses.
4. Asas kemandirian, menekankan
pentingnya arah pengembangan diri subjek yang dilayani, yaitu pribadi yang
mandiri dengan kelima ciri yang telah dikemukakan sebelumnya. Lebih konkrit,
pribadi yang mandiri itu terwujud dalam KES dan terhindar dari KES-T.
5. Asas keobjektifan, menekankan
pentingnya kejelasan dan keterjangkauan
semua hal yang menjadi materi layanan konsleing. Di samping itu, hal-hal yang
objektif itu juga terukur dan dapat dijalani oleh subjek yang dilayani.
Seperti kaidah-kaidah terdahulu, asas-asas konseling juga terpadu menjadi
satu. Semuanya adalah demi suksesnya pelayanan untuk sebesar-besarnya memenuhi
tuntutan pengembangan diri subjek yang dilayani.
E. Landasan
Seluruh orientasi, fungsi, prinsip dan asas sebagaimana
diuraikan di atas menuntut untuk dilaksanakan oleh konselor. Dalam hal ini,
perlu pula dipahami bahwa semua itu didasarkan pada landasan pelayanan konseling
sebagai berikut:
1.
Landasan
religius. Sebagaimana telah diungkapkan di atas, segenap komponen
dan unsur-unsur HMM sepenuhnya berdasarkan kaidah-kaidah keagamaan. Dalam
kaitan ini segenap aspek pelayanan konseling secara kental mengacu kepada
terwujudnya HMM yang seluruhnya bersesuain dengan kaidah-kaidah agama. Menurut
Prayitno (2004:154), Landasan religius dalam bimbingan dan konseling pada
umumnya ingin menetapkan klien sebagai makhluk Tuhan dengan segenap kemuliaan
kemanusiaannya menjadi fokus netral upaya pelayanan bimbingan dan konseling.
Klien dengan predikat seperti itu hendaknya diperlakukan dalam suasana dan cara
yang penuh kemuliaan kemanusiaan pula. Di Indonesia pelayanan konseling harus
berlandaskan pada agama. Dalam pelaksanaan layanan konseling secara Islami
landasan yang digunakan adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebab keduanya
adalah sumber pedoman kehidupan umat Islam (Faqih. 2001:5).
2. Landasan psikologis. Berbicara tentang
kondisi dan karakteristik individu, perkembangan, permasalahan, kemandirian,
KES dan KES-T dengan berbagai kontekstualnya, semuanya itu terkait dengan
kaidah-kaidah psikologi. Hal ini berarti bahwa konselor dipersyaratkan memahami
dan menerapkan berbagai kaidah psikologi, meskipun ia tidak perlu menjadi psikolog,
karena keduanya (konselor dan psikolog) berada pada bidang profesi yang
berbeda. Konselor bukan psikolog, dan psikolog bukan konselor.
3. Landasan pedagogis. Sudah amat jelas
bahwa konselor adalah pendidik. Oleh karenanya segenap kaidah pokok pendidikan
harus dikuasai dan terapkan oleh konselor dalam pelayanan konseling. Landasan pedagogis dalam
layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu:
a) Pendidikan
sebagai upaya pengembangan individu
Pendidikan adalah upaya memuliakan
kemanusiaan manusia. Tanpa pendidikan, bagi manusia yang telah lahir itu tidak
akan mampu memperkembangkan dimensi kefitrahan, keindividualan, kesosialan,
kesusilaan, dan keberagamaan.
b) Pendidikan
sebagai inti proses bimbingan konseling
Bimbingan dan konseling mengembangkan
proses belajar yang dijalani oleh klien-kliennya. Kesadaran ini telah tampil
sejak pengembangan gerakan Bimbingan dan Konseling secara meluas di Amerika
Serikat. pada tahun 1953, Gistod telah menegaskan Bahwa Bimbingan dan Konseling
adalah proses yang berorientasi pada belajar. Belajar untuk memahami lebih jauh
tentang diri sendiri, belajar untuk mengembangkan dan merupakan secara efektif
berbagai pemahaman.
c) Pendidikan
lebih lanjut sebagai inti tujuan bimbingan dan konseling
Tujuan Bimbingan dan Konseling
disamping memperkuat tujuan-tujuan pendidikan, juga menunjang proses pendidikan
pada umumnya. Hal itu dapat dimengerti karena program-program bimbingan dan konseling
meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya yang menyangkut
kawasan kematangan pendidikan karier, Kematangan personal dan emosional, serta
kematangan sosial, semuanya untuk peserta didik pada jenjang pendidikan dasar
(SD dan SLTP) dan pendidikan menengah.
4. Landasan sosio-kultural. Adalah kenyataan
bahwa individu, dalam hal ini subjek yang dilayani merupakan bagian integral
dari lingkungannya, terutama lingkungan sosio-kultural. Oleh karenanya,
pelayanan terhadap subjek dalam konseling haruslah secara cermat
memperhitungkan aspek-aspek sosio-kultural yang secara langsung ataupun tidak
langsung mempengaruhi kehidupannya. KES dan KES-T subjek yang dilayani terkait
secara kental dengan lingkungan sosio-kulturalnya itu.
5.
Landasan keilmuan
– teknologis. Layanan bimbingan dan
konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan,
baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan
konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai
metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, yang
dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan
ilmiah lainnya. Bimbingan dan konseling juga merupakan ilmu yang bersifat
“multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi
perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti: psikologi,
ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi,
ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin
ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan
konseling, baik dalam pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori
dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran
kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.
Berdasarkan penjelasan di
atas maka disimpulkan bahwa pelayanan konseling bukanlah pelayanan seadanya, bukan
pula pelayanan yang bisa dilaksanakan oleh siapa saja,
melainkan pelayanan profesional dengan ciri-ciri keilmuan dan teknologis. Dasar
kelimuan dan teknologi terwujud dalam kompetensi konselor sebagai pelaksana
pelayanan profesional konseling.
Oleh sebab itu, seorang
konselor harus terus meningkatkan kompetensi dan wawasan tentang
keilmuan bimbingan dan konseling agar mendapatkan pengakuan yang luas. Menurut Department of Education and Science
inspectorate (2009), “There appeared to be
widespread recognition among schools’ senior management of the benefits for
guidance counselors of engaging in continuing professional development (CPD)”.
Tidak diragukan lagi, kelima landasan tersebut di atas juga terpadu menjadi
satu. Dipilah oke, dipisah tidak mungkin. Dalam hal ini, konselor harus
menguasai semua landasan itu untuk suksesnya pelayanan profesional yang menjadi
tugas dan kewajibannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelayanan konseling yang dilaksanakan harus memiliki orientasi, fungsi,
prinsip, menggunakan asas, dan memiliki landasan. Orientasi konseling adalah
arah perhatian dan fokus dasar yang setiap kali harus menjadi pokok perhatian
dalam pelaksanaan pelayanan konseling. Ada tiga orientasi yang menjadi
perhatian utama, yaitu: orientasi perkembangan, orientasi permasalahan, dan orientasi
individual.
Penyelenggaraan layanan konseling juga memperhatikan beberapa fungsi antara
lain pemahaman,
pemeliharaan dan pengembangan, pencegahan, pengentasan, dan advokasi. Prinsip
merupakan kaidah dasar yang perlu selalu diperhatikan dalam penyelenggaraan
pelayanan konseling. Adapun prinsip pelayanan
konseling antara lain prinsip integrasi pribadi, prinsip
kemandirian, prinsip
sosio-kultural, prinsip
pembelajaran,
dan prinsip efektif/efisien. Dalam melaksanakan
layanan konseling ada beberapa asas yang harus dijunjung, antara lain: asas
kerahasiaan, asas kesukarelaan, asas kegiatan, asas
kemandirian, asas keobjektifan. Seluruh orientasi, fungsi, prinsip
dan asas sebagaimana diuraikan di atas menuntut untuk dilaksanakan oleh konselor.
Dalam hal ini, perlu pula dipahami bahwa semua itu didasarkan pada landasan
pelayanan konseling sebagai berikut: landasan religius, landasan
psikologis, landasan pedagogis, landasan
sosio-kultural, dan landasan keilmuan –
teknologis
B. Saran
Kepada pembaca diharapkan untuk terus
meningkatkan pemahaman maupun kompetensi yang berkaitan dengan penyelenggaraan
layanan konseling. Dalam melaksanakan pelayanan konseling harus mengacu pada
aspek-aspek di atas.
KEPUSTAKAAN
Aunur Rahim
Faqih. 2004. Bimbingan dan Konseling
Islam. Yogyakarta. UII Press.
Department
of Education and Science inspectorate. 2009. Looking at Guidance: Teaching
and Learning in Post-Primary Schools. Dublin. Evaluation Support and Research
Unit Inspectorate Department of Education and Science. [Online].
Tersedia. http://www.education.ie/en/Publications/Inspection-Reports-Publications/Evaluation-Reports-Guidelines/insp_looking_at_guidance_pdf.pdf. [13 oktober
2012].
Dorset
county council. 2002. Guidelines for
schools on the provision of counselling for pupils in schools. Hamphsire. Bacp. [online].
Tersedia. http://www.dorsetforyou.com/media/pdf/p/i/CounsellingGuidelinesforSchools_1.pdf. [14 oktober
2012].
Lunenburg, Fred c. 2010. school guidance and counseling services
(journal). texas. schooling volume. [Online].
Tersedia. http://www.nationalforum.com/Electronic%20Journal%20Volumes/Lunenburg,%20Fred%20C.%20School%20Guidance%20and%20Counseling%20Services%20Schooling%20V1%20N1%202010.pdf. [13
oktober 2012].
Manitoba
Education, Citizenship and Youth. 2007. Manitoba
sourcebook for school guidance and counseling services: a comprehensive and
developmental approach. Manitoba. Manitoba Education, Citizenship and
Youth. [Online]. Tersedia. www.edu.gov.mb.ca/k12/docs/.../mb_sourcebook/full_document.pdf. [13 oktober
2012].
Nyaga, Veronica karimi. Effectiveness of guidance and counselling
services on university students’ development of academic, social and personal
competencies: a comparative study of public and private universities in kenya
(a thesis). Chuka. Chuka university college. [online]. Tersedia. http://www.cuc.ac.ke/sites/default/files/downloads/papers/Veronica%20thesis.pdf [14
oktober 2012].
Prayitno. 2009. Wawasan
Profesional Konseling. Padang. Universitas Negeri Padang
Prayitno dan
Erman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan
dan Konseling. Jakarta. Rineka Cipta.
South Carolina Guidance and Counseling Writing Team.
1999. The South Carolina. Comprehensive Developmental Guidance and
Counseling Program Model. South Carolina .South Carolina Department of
Education Columbia. [online]. Tersedia. http://www.statelibrary.sc.gov/scedocs/Ed8332/000147.pdf. [14 oktober
2012]
Sunarto dan
Agung Hartono. 2006. Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta. Rineka Cipta.
Sunaryo Kartadinata. Kerangka
Kerja Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan:Pendekatan Ekologis Sebagai
Suatu Alternatif. Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia. [Online].
Tersedia.file.upi.edu/.../PENDEKATAN_EKOLOGIS.pdf. [14 oktober 2012].
This way my acquaintance Wesley Virgin's autobiography launches in this SHOCKING and controversial VIDEO.
BalasHapusYou see, Wesley was in the military-and soon after leaving-he unveiled hidden, "self mind control" secrets that the government and others used to get whatever they want.
THESE are the exact same tactics lots of celebrities (especially those who "became famous out of nowhere") and top business people used to become wealthy and famous.
You probably know that you use less than 10% of your brain.
Mostly, that's because most of your BRAINPOWER is UNTAPPED.
Perhaps that thought has even taken place IN YOUR very own brain... as it did in my good friend Wesley Virgin's brain seven years back, while riding an unregistered, beat-up garbage bucket of a vehicle with a suspended license and $3.20 on his banking card.
"I'm absolutely fed up with living paycheck to paycheck! Why can't I turn myself successful?"
You took part in those thoughts, ain't it right?
Your own success story is waiting to start. You need to start believing in YOURSELF.
CLICK HERE TO LEARN WESLEY'S SECRETS
As claimed by Stanford Medical, It is in fact the ONLY reason women in this country live 10 years more and weigh an average of 19 KG lighter than we do.
BalasHapus(And really, it is not related to genetics or some secret-exercise and absolutely EVERYTHING to do with "HOW" they eat.)
P.S, I said "HOW", not "what"...
Click this link to reveal if this brief quiz can help you decipher your real weight loss potential