KONSEP MURABAHAH
Oleh : Ady Putra, Khairil Amri, Keisi Darlina, Fathonah, Murni, Ridwan,Siti Aisyah *
A.PENDAHULUAN
Dalam membahas perpektif ekonomi Islam , ada satu titik awal yang benar-benar harus kita perhatikan yaitu ekonomi dalam Islam itu sesungguhnya bermuara kepada aqidah Islam, yang bersumber syariatnya. Dan hal ini baru dari satu sisi sedangkan dari sisi lain adalah Al-Quran dan Sunnah yang berbahasa arab. Oleh karena itu berbagai terminology dan subtansi ekonomi yang sudah ada, haruslah dibentuk dan disessuaikan terlebih dahulu dalam kerangka Islami. Atau dengan kata lain, harus digunakan kata dan kalimat dalam bingkai lughawi. Supaya dapat disadari pentingnya titik permasalahan ini. Karena dengan gambling tegas dan jelas mampu memberi pengertian yang banar tentang istilah kebutuhan, keinginan, kelangkaan (Al-mudrat), dalam upaya memecahkan problematika ekonomi manusia.
M.
Akram Kan seorang ahli ekonomi Islam mengemukakan pengertian ekonomi Islam sebagai berikut” Islamic economics aims the study of the human falah (well-being) achieved by organizing the resourcesof the erarth on the basic of cooperation and participation”.[1] Secara lepas dapat diartikan bahwa Ilmu ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan kajaian tentang kebahagiaan hidup manusia yang di capai dengan mengorganisasikan sumber daya alam atas dasar bekerja sama dan partisipasi. Defenisi yang di kemulakan Akram memberikan dimensi normative (kebahagiaan hidup dunia akhirat) serta dimensi positif (mengorganisir sumber daya alam).
Kegiatan yang dilakukan perbankan syari’ah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual, dan menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan sayri’ah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang (transfer of property). Tingkat keuntungan bank di tentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti murabahah.
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak, jumlahnya bisa mencapai belasan jika tidak puluhan sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syari’ah yaitu bai’ al-murabahah, bai’ as-salam, dan bai’ al-istishna.[2]
B. PENGERTIAN MURABAHAH
Murabahah atau مرابحة asal kata dari ism masdar ربح yang berarti : sesuatu yang tumbuh dalam dagangan ( النماء في التجارة ), maka bagi orang Arab seseorang itu dianggap untung kalau aset dagangannya tumbuh /bertambah,
hal ini senada dengan ayat Al-qur'an فما ربحت تجارتهم ) 8 ) artinya : “maka tidaklah bertambah (untung) perniagaan mereka”.
Para ahli bahasa Arab mengkomentari bahwa: dikatakan murabahah (saling meguntungkan) karena masing-masing dari pihak pembeli dan pihak penjual saling menguntungkan, si penjual bertambah modal dagangannya dan si pembeli bertambah aset usahanya.
Para ahli bahasa arab mengomentari bahwa dikatakan murabahah (saling menguntungkan) karena masing-masing dari pihak pembeli dan pihak penjual saling nebgubtubgkan, si penjual bertanbah modal dagangannya dan si pembeli bertambah asset uasahanya. Sementara murabahah menurut ulama sayri’ah klasik (ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanafiyah) yang di tinjau dari studi kepustakaan menemukan kesepakatan mereka bahwa murabahah terdiri dari dua unsure yaitu :
1. Harga pokok ditambah biaya-biaya cost yang timbul dari pembelian / pengadaan barang yang pasti, kecuali biaya dilakukan secara estimasi[3], hal ini hanya ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah yang membolehkan biaya estimasi asalkan dirinci dengan jelas.
2. Karena murabahah adalah system jual beli bersifat amanah, maka seharusnya harga pokok awal dan tambahan / keuntungan (margin transparan).
Murabahah dapat pula diartikan pembiayaan beripa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang denagn kewajiban mengembalikan talanga dana tersebut seluruhnya ditambah margin keuntungan bank pada saat jatuh tempo.[4]
System jual beli murahabah yang diterapkan / diaplikasikan banyak oleh lembaga keuangan sayri’ah sekarang adalah murahabah dengan pesanan pembelian, adalah hasil inovasi rekonstruksi murabahah yang dipelopori dan disosialisasikan pada keuangan islam oleh DR. Sami Hasan Hamud pada saat meperthankan desertasinya yang diajukan pada Universitas Al-Azhar Mesir beliau menguraikan pengertiannya sebagai berikut :
“suatu kesepakatan antara pihak bank dan nasabah, agar bank menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah, dan nasabah akan membelinya serta bank menjual kepadanya dengan system pembayaran tunai atau tunda, yang sudah ditentukan harga pokok pembelian ditambah keuntungan (margin) terlebih dahulu.[5]
Jenis murabahah ini cocok untuk property antara pemesan dan pihak yang diberi pesanan harus sepakat dalam menentukan hargan pokok property dan tambahan / keuntungan (margin) sewaktu perjanjian. Perjanjian dalam murabahah jenis ini bukanlah seuatu keharusan, artinya pemesan tidak terikat walaupun sudah memesan barang, pemesan dapat menerima atau membatalkan barang tersebut. Keharusan adanya ijab (permintaan dari pemesan)dan qabul (persetujuan atas permintaan dari pemesan).
Secara luas, jual beli dapat diartikan sebagai pertukaran harta atas dasar saling rela. Menurut (sabiq, 2008) jual beli adalah memindahkan milik dengan ganti (iwad) yang dapat dibenarkan (sesuai syari’ah). Pertukaran dapat dilakukan antara uang dengan barang, barang dengan barang yang biasa kita kenal dengan barter dan uang dengan uang misalnya pertukaran nilai mata uang rupiah dengan yen.
Untuk pertukaran barang ribawi seperti emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung kurma dengan kurma anggur kering dengan anggur kering dan garam dengan garam maka pertukarannya harus dengan jumlah yang sama dan harus dari tangan ke tangan atau tunai. Karena kelebihannya adalah riba. Untuk pertukaran mata uang yang berbeda harus dilakukan secara tunai. Seperti kita ketahui, jual beli adalah salah satu aspek dalam Muamalah (hubungan manusia degan manusia), dengan kaidah dasar semua boleh kecuali yang dilarang. Kalau belum tahu mana yang dibolehkan dalam syari’ah atau belum mengetahui suatu ilmu tertentu kita wajib mencari tahu sebagaiman sabda Nabi Muhammad SAW :
“menuntut ilmu itu diwajibkan bagi tiap orang muslim.”(HR. Ibnu Majah).[6]
Dalam catatan Imam Muhammad Amin bin Umar yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Abidin, dan catatan Ibnu Hazem bahwa murabahah adalah system jual beli yang diciplak dari Negara Persia (salah satu Negara adidaya disaat itu) oleh masyarakat Arab islam dalam aktifitas bisnis mereka pada abad pertama hijriyah.
Imam Al-Kasanis (dari ulama Hanafi) menjelaskan bahwa sepanjang sejarah semenjak dipraktekkan system murabahah dari generasi ke generasi tidak ada segelintir komunitas Muslim dan ulama yang mengingkari akan keabsahannya system jual beli murabahah, hal itu dapat dijadikan rujukan sebagai ijma’, disamping itu ada banyak alasan system jual beli murabahah ini diterima oleh banyak kalangan. System jual beli murabahah yang diaplikasikan di lembaga keuangan syari’ah sekarang ini berbeda dari murabahah yang diperkenalkan oleh para ulama klasik, di mana murabahah dalam LKS terdiri dari tiga pelaku transaksi yaitu :
a. Al-amiri bi syira (pemesan / nasabah)
b. Lembaga keuangan syari’ah
c. Baaai’I (pemasok)
Sedangkan murabahah klasik hanya terdiri dari dua pelaku, yaitu :
a. Pembeli, dan
b. Penjual[7]
C. LANDASAN SYARI’AH MURABAHAH
Seluruh umat Islam mengakui dan mengimami Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah adalah sumber hokum, maka segala sesuatunya seharusnya dikembalikan kepada kedua sumber hukum tersebut, sebelum menggalakkan ijtihad (mumarrast al-ijtihad) yatiu memahami Al-Qur’an secara kreatif dan konstektual agar dapat di terapkan pada kondisi kekinian yang selalu berubah. Secara langsung Al-Qur’an tidak pernah membicarakan tentang murabahah, hanyalah sejumlah acuan tentang jual beli, laba, rugi dan perdagangan. Begitu pula halnya dengan referensi hadits, tidak ditemukannya ada hadits yang memiliki rujukan langsung kepada murabahah. Bahkan ulama kontemporer Syed Al-Kaff menyimpulkan bahwa murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang tidak di kenal pada zaman Nabi atau para sahabatnya. murabahah mulai dikomentari oleh para ulama pada seperempat pertama abad kedua hijriyah atau bahkan lebih akhir lagi. maka para ulama membenarkan murabahah berdsarkan yang lain, seperti Imam Malik membenarkan keabsahannya dengan merujuk kepada ‘amalu ahli madinah (praktek penduduk madinah) dan para ulama klasik dari mazhab empat membenarkan keabsahannya murabahah dengan ijma’ ulama’. Namun tidak seorang pun dari mereka secara khusus memperkuat pendapat mereka dengan satu hadits dari Al-qur’an. [8]
a. dalil Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.
b. al-Hadits
“Allah mengasihi orang yang member kemudahan kemudian apabila ia menjual dan membeli serta di dalam menagih haknya” .(dari Abu Hurairah).
Bai’ al murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. dalam bai’ al murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. bai’ al murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian (KPP).
dalam kitab al-umm, Imam Syafi’I menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-aamir bisy-syira.
D. SYARAT AL-MURABAHAH
Adapun syarat murabahah adalah sebagai berikut:
a. penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
b. kontrak pertama harus ada sesuai dengan rukun yang ditetapkan
c. kontrak harus bebas dari riba’
d. penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e. penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang
Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (b), atau (e) tidak di penuhi, pembeli memiliki pilihan :
a. melanjutkan pembelian seperti apa adanya
b. kembali kepada penjual dan menyatakan ketidasetujuan atas barang yang dijual
c. membatalkan kontrak[9]
Ide tentang jual beli murabahah KPP tampaknya berakar pada dua alas an berikut :
a. mencari pengalaman. satu pihak yang berkontrak (pesanan membeli) meminta pihak lain (pembeli) untuk membeli sebuah asset. Pemesan berjanji untuk ganti membeli asset tersebut dan memberinya keuntungan. Pemesan memilih system pembelian ini, yang biasanya dilakukan secara kredit.
b. mencari pembiayaan, dalam operasi perbankan syari’ah, motif pemenuhan pengadaan asset atau modal kerja merupakan alas an utama yang mendorong dating ke bank. pada gilirannya, pembiayaan yang diberikan akan membantu memperlancar arus kas (cash flow) yang bersangkutan.
Janji pemesan untuk membeli barang dalam bai’ al-murabahah biasanya merupakan janji yang mengikat, bisa juga tidak mengikat. Para ulama syari’ah terdahulu bersepakat bahwa pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah di pesan itu. Dewasa ini, The Islamic Fiqih Academy. juga merupakan hokum yang sama, alasannya, pembeli barang pada saat awal telah memberikan pilihan kepada pemesan untuk membeli barang itu atau menolaknya. Menjual barang yang tidak dimiliki adalah tindakan yang dilarang sayri’ah karena termasuk bai’ al-fudhulu. Para ulama syari’ah terdahulu telah memberikan alasan secara rinci mengenai pelarangan tersebut. Akan tetapi,. beberapa ulama syari’ah modern menunjukkan bahwa konteks jual beli murabahah jenis ini di mana “belum ada barang” berbeda dengan “menjual tanpa kepemilikan barang”.
Penjualan dapat dilakukan secara tunai dan kredit (pembayaran tangguh). Dalam akad murabahah, diperkenankan harga berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda. Misalnya, harga tunai, harga tangguh dengan periode 1 tahun atau 2 tahun berbeda. Namun penjual dan pembeli harus memilih harga mana yang disepakati dalam akad tersebut dan begitu disepakati maka hanya ada satu harga (harga dalam akad) yang digunakan dan harga ini tidak dapat berubah. apabila pembeli lebih cepat dari jangka waktu kredit yang ditentukan atau pembeli menunda pembayarannya.[10]
Penjual dapat meminta uang muka pembeli kepada pembeli sebagai bukti keseriusannya ingin mebeli barang tersebut. Uang muka menjadi bagian pelunasan piutang murabahah jika akad murabahah disepakati. Namun apabila penjual telah membeli barang dan pembeli membatalkannya, uang muka ini dapat digunakan untuk menutup kerugian si penjual akibat dibatalkannya tersebut. Apabila pembeli tidak dapat membayar utangnya sesuai dengan waktu yang ditetapkan, penjual tidak diperbolehkan mengenakan denda atas keterlambatan pada pembeli karena kelebihan pembayaran atas suatu utang sama dengan riba. Pengecualian berlaku apabila pembeli tersebut tidak membayar bukan karena mengalami kesulita keuangan tapi karena lalai. Dalam kasus ini pengenaan denda diperbolehkan.
Apabila pelunasan piutang tertunda dikarenakan pembeli mengalami kesulitan keuangan, maka penjual hendaknya memberi keringanan, keringanan dapat berupa menghapus sisa tagihan. Membantu menjualkan objek murabahah pada pihak lain atau melakukan restrukturisasi piutang sebagai berikut :
a. memberikan potongan sisa tagihan
b. melakukan penjadwalan ulang (rescheduling)
c. mengonversi akad murabahah
Akad murabahah adalah sesuai dengan syariah karena merupakan transaksi jual beli dimana kelebihan dari harga pokoknya merupakan keuntungan dari penjualan barang. sangat berbeda dengan praktik riba yang mana nasabah meminjam sejumlah uang tertentu untuk membeli suatu barang kemudian atas pinjaman tersebut nasabah harus membayar kelebihannya. dan Islam sangat menentang praktek riba ini, sebagaimana firman Allah, QS. 2:275
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gil. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
D. RUKUN DAN KETENTUAN AKAD MURABAHAH
Rukun dan ketentua murabahah yaitu:
1. Pelaku
pelaku cakap hokum dan baligh (berkal dan dapat membedakan), sehingga jual beli dengan orang gila menjadi tidak sah sedangkan jual beli dengan anak kecil dianggap sah apabila seizing walinya.
2. Objek jual beli, harus memenuhi:
a. barang yang diperjualbelikan harus barang halal.
b. barang yang diperjual belikan harus dapat diambil manfaatnya atau memiliki nilai barang-barang yang dilarang diperjualbelikan.
c. barang tersebut dimiliki oleh pembeli.
d. barang tersebut dapat diserahkan tanpa tergantung dengan kejadian tertentu di masa depan. barang yang tidak jelas waktu penyerahannya adalah tidak sah.
e. barang tersebut harus dikrtahui secara spesifik dan dapat diidentifikasikan oleh sehungga tidak ada gharar (ketika pastian)
f. barang tersebut dapat diketahui kualitas dan kuantitasnya dengan jelas.
3. Ijab Kabul
pernyataan dan ekspersi saling ridho di antara pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
E. PENUTUP
Para ahli bahasa arab mengomentari bahwa dikatakan murabahah (saling menguntungkan) karena masing-masing dari pihak pembeli dan pihak penjual saling nebgubtubgkan, si penjual bertanbah modal dagangannya dan si pembeli bertambah asset uasahanya.
Murabahah dapat juga diartikan jual beli barang pada harga asal dengan menambah keuntungan yqng disepakati.
-Adapun palaku-pelaku dalam murabahah yaitu:
a. Al-amiri bi syira (pemesan / nasabah)
b. Lembaga keuangan syari’ah
c. Baaai’I (pemasok)
- Adapun syarat murabahah adalah sebagai berikut:
a. penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
b. kontrak pertama harus ada sesuai dengan rukun yang ditetapkan
c. kontrak harus bebas dari riba’
d. penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e. penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang
DAFTAR PUSTAKA
Nurul Huda,et al, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoretis, Jakarta: Kencana, 2008
Muhammad Syafi’I antonnio, Bank Syari’ah, Jakarta: Gema Insani, 2001
Sri Nurhayati dan Wasilah , Akuntansi Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Selemba Empat,2008
Wirdyaningsih, et al, Bank dan Asuransi Islam Indonesia, Jakarta:Kencana, 2005
* Pemakalah adalah Mahasiswa/I semester VI Jurusan Pendidikan Agama Islam prodi Fiqi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA Riau 2009. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah “Ekonomi Syari’ah” yang diserahkan pada hari/tanggal : Minggu, 07 Maret 2010
[1] Nurul Huda,et al, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoretis, Jakarta: Kencana, 2008,hal. 1
[2] Muhammad Syafi’I antonnio, Bank Syari’ah, Jakarta: Gema Insani, 2001,Hlm 101
[3] Rincian anggaran
[4] Wirdyaningsih, et al, Bank dan Asuransi Islam Indonesia, Jakarta:Kencana, 2005,hal.106
[6] Sri Nurhayati dan Wasilah , Akuntansi Syari’ah di Indonesia Selemba Empat: Jakarta,2008. Hlm 160
[7] Op.cit
[9] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah, Tazkia Cendekia: Jakarta, 2003,Hlm 103
[10] Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, Hlm 161
Tidak ada komentar:
Posting Komentar