BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para pendidiklah, masa depan dan peradaban bangsa ini dipertaruhkan. Tugas kependidikan yang diembannya bukanlah suatu jenis pekerjaan yang dapat diserahkan begitu saja pada sembarang orang untuk melakukannya. Pekerjan itu, memerlukan keprofesionalan khusus yang sengaja dirancang untuk melakunnya. Oleh karena itu, untuk memberikan jaminan terhadap kualitas pelaksanaan tugas pendidik, mereka harus memiliki sertifikat sebagai pendidik. Hanya pendidik yang terjamin kualitasnya yang mampu mengelola pembelajaran dengan baik, sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan.
Setiap orang harus membuka mata dan hatinya untuk merenungkan dan menyadari bahwa betapa berat tantangan hidup yang harus dihadapi oleh sosok seorang pendidik. Meskipun upaya ke arah meringankan beban tantangan yang dihadapi oleh pendidik telah diprakarsai oleh pemerintah dengan dikeluarkannya UU RI No. 14 tahun 2005.[1] Dukungan jangan berhenti sampai di situ, tetapi setiap orang harus beraksi dan mengambil peran secara bersama-sama menurut kadar kemampuannya masing-masing untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh pendidik. Ada tiga jenis tantangan utama yang harus dihadapi dan harus mampu diatasi oleh sosok seorang pendidik dalam melaksanakan tugas kependidikannya, yakni: tantangan umum, tantangan sosial ekonomi dan tantangan profesi di lembaga pendidikan tempat mereka bertugas. Untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut tidaklah bijak jika seluruh upaya dibebankan hanya di atas pundak pendidik saja, tetapi wajib melibatkan partisipasi penuh dari pihak pemerintah, orang tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas di sini adalah :
1. Sertifikasi Guru
2. Proses Sertifikasi Guru
3. Peran Sertifikasi Guru
4. Kode Etik
5. Kode Etik Guru
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun berdasarkan dari buku-buku yang mempelajari tentang Profesi dan Etika Keguruan dan khususnya mengenai Sertifikasi guru dan Kode Etik Keguruan. Makalah ini ditujukan untuk :
1. Mengetahui seperti apa Sertifikasi itu dan apa-apa saja kode etik keguruan.
2. Memberikan wawasan luas kepada para pembaca khususnya calon guru tentang Sertifikasi Guru dan Kode Etik Keguruan
3. Memenuhi tugas penulis sebagai Ujian Semester Genap
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sertifikasi Guru
Suatu profesi dalam bidang tertentu berkewajiban untuk menetapkan pedoman atau petunjuk bagi penampilan dan latihan para pelaksana. Yang pertama melalui pengawasan dan pemberian surat keterangan kecakapan (sertifikasi) sedangkan yang kedua melalui pengakuan program-program (akreditasi).[2]
Guru menjadi ujung tombak dalam pembangunan pendidikan nasional. Utamanya dalam membangun dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan formal.
Guru profesional dan bermartabat menjadi impian kita semua karena akan melahirkan anak bangsa yang cerdas, kritis, inovatif, demokratis, dan berakhlak. Guru profesional dan bermartabat memberikan teladan bagi terbentuknya kualitas sumber daya manusia yang kuat. Sertifikasi guru mendulang harapan agar terwujudnya impian tersebut. Perwujudan impian ini tidak seperti membalik talapak tangan. Karena itu, perlu kerja keras dan sinergi dari semua pihak yakni, pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan guru.
Sertifikasi guru merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru sehingga pembelajaran di sekolah menjadi berkualitas. Peningkatan program lain yaitu; peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S1/D4, peningkatan kompetensi guru, pembinaan karir guru, pemberian tunjangan guru, pemberian maslahat tambahan, penghargaan, dan perlindungan guru.
Sertifikasi guru melalui uji kompetensi memperhitungkan pengalaman profesionalitas guru, melalui penilaian portofolio guru. Sepuluh komponen portofolio guru akan dinilai oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi guru. Bagi guru yang belum memenuhi batas minimal lolos, akan mengikuti pendidikan dan pelatihan hingga guru dapat menguasai kompetensi guru.
1. Menyiasati Sertifikasi Guru
Sebagai wujud pelaksanaan UU Pendidikan No 22 tahun 2003,[3] salah satu pasal dalam UU Guru dan Dosen no 14 tahun 2005, PP no 19 tahun 2005 tentang standard pendidikan nasional dan Peraturan Mendiknas nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan, pelaksanaan sertifikasi saat ini telah memasuki tahun kedua, dengan sedikit keterlambatan pada pelaksanaan tahap pertama di tahun 2006.[4] Sekitar 200 ribu guru yang rencananya akan disertifikasi pada tahun 2006 baru berhasil menjalani proses itu di tahun 2007, dan pemerintah juga merencanakan program yang sama terhadap 170.450 guru di tahun 2007.
Dalam Panduan Sertifikasi yang dikeluarkan oleh Mendiknas, target guru yang harus mengikuti program sertifikasi adalah guru-guru bergelar S1 atau D4. Guru-guru tersebut berhak untuk menjalani proses sertifikasi dengan tahapan, yaitu menyerahkan berkas-berkas terkait dalam uji portfolio. Jika seorang guru lulus uji ini, maka dia berhak memperoleh sertifikat pendidik. Apabila tidak lulus, maka diberi kesempatan memperbaiki portfolio, dan jika dalam uji yang kedua pun gagal, guru harus mengikuti Diklat Profesi Guru dengan kelulusan berdasarkan hasil ujian akhir. Jika guru berhasil lulus dalam ujian akhir Diklat, maka dirinya berhak atas sertifikat pendidikan. Bagi yang tidak lulus ujian Diklat dapat mengulangnya sebanyak 2 kali ujian, dan seandainya tetap tidak lulus, maka kasusnya dikembalikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Pengembalian ini tidak jelas apakah pihak Diknas diberi wewenang penuh untuk memecat guru bersangkutan atau memberikan training.
Karena peserta sertifikasi adalah guru-guru bergelar S1/D4, maka dalam sebuah wawancara media, Dirjen PMTK, Fasli Djalal mengatakan guru-guru yang belum bergelar S1/D4 menyerbu universitas dan lembaga-lembaga pendidikan untuk memperoleh gelar tersebut. Pernyataan ini patut dipertanyakan mengingat biaya mengikuti program sarjana tidaklah ringan dan apakah guru dengan gaji yang sekarang dapat menyisihkan dana untuk melanjutkan studi ? Seandainya dapat, barangkali banyak pula guru yang terpaksa menggadaikan hartanya atau meminjam uang untuk dapat memperoleh gelar itu. Sebagian besar guru, terutama di daerah mampu bersekolah dengan dukungan beasiswa dari pemerintah setempat atau swasta, dan tak sedikit guru yang mengaharapkan ini.
Kebijakan sertifikasi yang tengah berlangsung ini menuai banyak kritik dari kalangan pendidik, ekonom dan orang tua dan pengamat pendidikan. Ada beberapa topik yang disoroti diantaranya lambatnya legalisasi hukum pelaksanaan sertifikasi, anggaran yang akan membengkak dan tidak memadai, juga proses yang bertele-tele dan memungkinkan terjadinya pemalsuan dan kecurangan.
Berdasarkan opini dan masukan tersebut, penulis mencoba merangkum dan menyusun beberapa konsep untuk menyiasati pelaksanaan sertifikasi guru di Indonesia.
2. Rekonsepsi sertifikasi
Definisi sertifikasi guru harus diperjelas dengan membuat batasan berdasarkan waktu, cakupan wilayah dan type sertifikasi. Ada dua jenis sertifikasi yang bisa dikeluarkan berdasarkan periodenya, yaitu sertifikasi yang berlaku seumur hidup atau sertifikasi dalam masa waktu tertentu, misalnya 10 tahunan. Seorang guru yang mulai bekerja pada usia 23 tahun dan akan pensiun pada usia 60 tahun, maka dia akan mengalami setidaknya 3 kali masa pembaruan sertifikasi. Selang waktu pembaruan bisa saja 5 tahun tetapi mengingat penghematan biaya, maka 10 tahun lebih ideal.[5]
Berdasarkan cakupan wilayah, ada dua jenis sertifikasi yaitu sertifikasi yang berlaku secara nasional dan sertifikasi yang berlaku regional. Ide ini sangat erat kaitannya dengan era otonomi daerah, yang memberikan wewenang lebih kepada daerah untuk mengatur managemen pendidikan daerah termasuk mengatur ketenagakerjaan di bidang pendidikan. Sertifikasi yang bersifat nasional dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan dapat dipergunakan untuk mengajar di seluruh wilayah Indonesia. Adapun sertifikasi yang bersifat wilayah hanya dapat digunakan untuk mengajar di wilayah bersangkutan, terkait dengan wilayah di mana sertifikat itu dipublikasikan. Serttifikasi wilayah juga merupakan alternatif untuk menekan pembiayaan negara terhadap proses sertifikasi dan melimpahkan kepada daerah.
Sertifikat juga harus dibedakan antara sertifikat untuk guru TK, guru SD, SMP, SMA, SMK, MA, MTs, MI, dan SLB. Sehingga pemegang sertifikat guru SD hanya boleh mengajar di SD, dan pemegang sertifikat guru SMA hanya boleh mengajar di SMA atau sekolah yang sederajat. Pemilik sertifikat ganda tidak diakui. Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan spesifikasi dan sekaligus memberikan kesempatan kepada guru bersangkutan untuk lebih serius mendalami dan mengenali lingkungan kerjanya.
Bagi guru-guru bersertifikat regional yang diperlukan untuk membantu pendidikan di daerah pedalaman dan daerah yang tertinggal maka diperlukan surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan. Guru-guru ini harus mengikuti training untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi tempat mengajarnya, yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat.[6] Oleh karenanya setiap provinsi atau kabupaten harus memiliki Pusat Pelatihan Guru, yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi.
B. Proses Sertifikasi Guru
Pelaksanaan sertifikasi yang saat ini diberlakukan dengan fokus kepada guru SD/SMP dan guru senior yang mendekati usia pension, akan membutuhkan waktu dan menghabiskan biaya yang cukup besar sekaligus mementahkan ijazah pengakuan guru yang diperoleh oleh lulusan sekolah guru atau fakultas pendidikan. Oleh karenanya sertifikasi harus dilaksanakan dengan beberapa kategori, yaitu:
1. Guru-guru yang merupakan lulusan IKIP atau institusi pendidikan lainnya yang sederajat dan telah mengikuti program keguruan, berhak atas sertifikat guru, tanpa harus menjalani uji portfolio. Usulan ini sebagai penghargaan terhadap ijazah kependidikannya yang sudah sejalan dengan profesi guru. Sertifikat otomatis ini juga diberikan kepada lulusan baru yang menjadi guru muda, dengan syarat selama menjadi mahasiswa, dia telah mengikuti praktek kerja di sebuah sekolah selama 2 hingga 3 bulan dan memenuhi jumlah kredit menjadi guru.
2. Guru-guru yang merupakan lulusan PT Non kependidikan, maka sertifikat dapat diperoleh setelah yang bersangkutan mengikuti training tentang kepengajaran dan kependidikan yang belum didapatkannya selama menjadi mahasiswa. Dan apabila yang bersangkutan telah mengikuti training serupa sebelumnya yang dibuktikan melalui uji portfolio, maka dia dapat diberi sertifikat guru. Apabila guru-guru ini telah memiliki AKTA 4 maka secara otomatis pula dia berhak atas sertifikat guru.
3. Guru-guru yang belum memegang gelar sarjana harus ditangani secara serius oleh pemerintah. Guru-guru ini harus mengikuti program ekstension di LPTK yang ditunjuk, mengikuti sejumlah kuliah dengan kurikulum dan standar kredit yang sudah ditetapkan, sehingga memperoleh gelar sarjana. Selanjutnya sertifikat dapat diberikan.
4. Guru-guru senior yang dalam jangka waktu 10 tahun belum pernah mengikuti training penyegaran sebagai guru, diharuskan mengikuti training singkat sebelum memperoleh sertifikat guru. Kategori guru senior adalah 40 tahun ke atas.
5. Sertifikasi Guru vs Evaluasi Guru
Kedua kata ini saling bersinergi. Sertifikasi untuk memberikan jaminan akan kompetensi kepengajaran dan kependidikan yang dimiliki oleh seorang guru/calon guru, sedangkan evaluasi adalah suatu proses untuk menilai perkembangan kemampuan dan profesionalisme seorang guru.
Proses evaluasi guru harus dilaksanakan secara berkesinambungan, yang pelaksanaannya dapat dikendalikan dari pusat atau didelegasikan kepada pemerintah daerah. Langkah kedua lebih demokratis dan memacu kompetisi antar daerah yang akan berimbas kepada percepatan kemajuan daerah. Proses evaluasi guru yang selama ini dilakukan dengan menunjuk kepala sekolah sebagai evaluator dapat diteruskan, dan akan lebih bertanggung jawab jika evaluasi juga dilakukan oleh komponen sekolah yaitu komite sekolah dan siswa. Kriteria evaluasi mencakup teknik pengajaran, kemampuan manajemen kelas, partisipasi managerial, dan kehidupan sosial guru, termasuk sikap dan tingkah laku.
Hasil evaluasi dapat dipergunakan sebagai parameter untuk meningkatkan kesejahteraan guru berupa bonus atau tunjangan lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam UU Guru dan Dosen, pemerintah berkewajiban memenuhi pendapatan guru dan memberikan tunjangan-tunjangan.
Dengan demikian sertifikat guru dipakai sebagai surat bukti bahwa seseorang yang memegangnya berhak untuk mendapatkan pendapatan sesuai profesinya, yaitu gaji dasar guru. Sedangkan evaluasi guru dipakai sebagai alat untuk memacu kompetisi dan meningkatkan kesejahteraan guru.
Konsep pemerintah saat ini yang mengatakan bahwa gaji guru akan dinaikkan setelah mendapatkan sertifikat, penulis pikir akan berdampak kepada ketidakpercayaan yang akan menumpuk karena sifatnya sangat kondisional. Pemerintah harus menetapkan gaji dasar guru yang manusiawi yang berhak diperoleh oleh semua guru pemegang sertifikat guru. Adapun tunjangan dan bonus diberikan berdasarkan prestasi gemilang guru setelah dievaluasi. Evaluasi guru pun dapat dipergunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kemampuan mengajar dan manajerial guru melalui training keguruan.
C. Peran Sertifikasi Guru
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XVI Pasal 61 ayat (3) sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Lebih lanjut menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Bab IV Pasal 8 pasal 13 bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sejalan dengan pasal di atas, Gordon (1988) menjelaskan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi sebagai berikut:
1. Pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan seseorang untuk melakukan sesuatu, misalnya akan dapat melakukan proses berpikir ilmiah untuk memecahkan suatu persoalan manakala ia memiliki pengetahuan yang memadai tentang langkah-langkah berpikir ilmiah.
2. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu.
3. Keterampilan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas yang dibebankan.
4. Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya.
5. Sikap (attitude), yaitu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar.
6. Minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan.
Dari uraian di atas, maka kompetensi bukan hanya ada dalam tatanan pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambarkan dalam pola perilaku. Artinya seseorang dikatakan memiliki kompetensi tertentu, akan tetapi bagaimana implikasi dan implementasi pengetahuan itu dalam pola perilaku atau tindakan yang ia lakukan. Dengan demikian, maka kompetensi pada dasarnya merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Pemerintah hendaknya serius dalam melaksanakan Uji Kompetensi terhadap para guru TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK. Karena tanpa keseriusan, mereka yang tak berkompeten, tak berkualitas, dan tak berhak tidak bakal memperolehnya sertifkat itu. Hal itu dengan mempertimbangkan dua alasan menurut Y. Yuparsa A (dalam Kompas Senin, 10 Juli 2006 hal. 13): ‘’Pertama, sekalipun wajib diikuti setiap guru, sertifikasi ini juga merupakan bagian dari upaya mencapai tujuan pendidikan nasional. Kedua, implikasi uji kompetensi dalam proses sertifikasi ini adalah meningkatnya pendapatan guru dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru.
Oleh karena itu, uji kompetensi yang baik harus dilaksanakan berlandaskan nilai dan semangat kecermatan atau validitas, bijak serta adil. Cermat atau valid maksudnya instrument uji kompetensi mampu menentukan guru yang memang benar-benar layak untuk memperoleh sertifikat pendidik sebagai guru profesional. Dikatakan demikian karena memang yang bersangkutan cakap atau kompeten sebagai pendidik.
Dengan mempertimbangkan sasaran seperti itu, instrument tes berupa pilihan ganda tak akan mampu menggali potensi guru sesungguhnya. Instrumen pilihan ganda hanya menggali sisi permukaan kognitif dangkal yaitu ingatan, pemahaman dan penerapan. Sisi-sisi psikomotorik dan afeksinya? Padahal kompeten dan profesional esensinya jelas terkutat dalam duo dan satu itu: kognitif dan afektif.
Secara konseptual, untuk menguji kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan kompetensi profesional, tidak cukup hanya dengan instrument uji tulis semata. Pemerintah perlu pula mengembangkan alat uji lain yang mampu menembus pengetahuan dan potensi guru dari sisi kepribadian, sosial, dan psikologisnya. Misalnya bentuk psikotes, angket, wawancara, pengamatan bahkan dengan simulasi.
Prinsip bijak maksudnya, sekalipun para guru wajib mengikuti uji kompetensi, selayaknya pemerintah juga mempertimbangkan bahwa pemenuhan kesejahteraan hidup para guru merupakan sebuah keniscayaan yang wajib dilakukan. Sebab, kelayakan untuk menjadi seorang guru profesional sebenarnya sudah dimiliki yakni dengan mengantongi sertifikat kelulusan dari LPTK. Dengan demikian, model uji kompetensi yang dikembangkan bukan hanya untuk menguji, melainkan sebagai bagian dari upaya pembinaan dan pengembangan sehingga para guru layak menyandang sertifikat guru profesional versi sertifikasi.
Prinsip berkeadilan terkait dengan siapa yang diprioritaskan untuk diikutsertakan dalam proses sertifikasi ini, mengingat pemerintah merencanakan menentukan para guru yang dapat mengikuti proses sertifikasi ini. Agar prosesnya berkeadilan, sebaiknya pemerintah merancang sistem yang transparan untuk mengatur orang yang diberi kesempatan ikut proses sertifikasi. Mungkin sebaiknya, guru-guru yang terlebih dahulu diprioritaskan mengikuti proses sertifikasi ialah mereka yang masa kerjanya lama, kemudian diurut rancang sehingga mencapai batas satu masa uji.
Prinsip berkeadilan juga berlaku dengan tidak membedakan status guru. Apakah guru PNS, guru swasta, guru honor, atau guru bantu. Maka sudah selayaknya pemerintah memberikan pelayanan yang sama dalam proses sertifikasi ini. Termasuk memberi kesempatan kepada para guru honorer, guru bantu, guru swasta yang kompeten untuk memiliki sertifikasi pendidik itu. Akan menjadi tidak adil jika sertifikasi hanya memberi kesempatan kepada guru-guru yang berstatus pegawai negeri sipil atau PNS saja. Padahal, boleh jadi peran guru swasta, guru honorer, dan guru bantu jauh lebih besar dibandingkan dengan para PNS itu.
D. Kode Etik
Kode Etik adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku seseorang yang berhubungan dengan profesinya seperti yang diharapkan oleh Masyarakat dan Negara, yang bersumber pada moral Pancasila.[7]
Persatuan Guru Republik Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah suatu bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan Tanah Air serta kemanusiaan pada umumnya dan Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merasa turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia untuk menunaikan karya sebagai guru dengan mempedomani dasar-dasar sebagai berikut:
1. Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai sesama pengabdiannya.
2. Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kejaksanaan Pemerintahan dalam bidang Pendidikan.
3. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
4. Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing.
5. Guru mengadakan komunikasi terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.[8]
E. Kode Etik Guru
1. Setiap guru diwajibkan memakai peraturan-peraturan dan menekankan self disiplin serta menyesuikan diri dengan adat-istiadat setempat secara fleksibel.
2. Guru sebagai manusia Pancasila, hendaknya senantiasa menjunjung tinggi dan mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
3. Setiap guru berkewajiban untuk berpartisipasi secara aktif dalam melaksanakan program dan kegiatan sekolah.
4. Guru selaku pendidik, hendaknya bertekad untuk mencintai anak-anak dan jabatannya, serta selalu menjadikan dirinya suri tauladan bagi anak didiknya.
5. Setiap guru berkewajiban meningkatkan kesehatan dan keselarasan jasmaniahnya, sehingga berwujud penampilan pribadi yang sebaik-baiknya, agar dapat melaksanakan tugas denga sebaik-baiknya pula.
6. Guru hendaknya bersikap terbuka dan demokratis dalam hubungan dengan atasannya dan sanggup menempatkan dirinya sesuai dengan hierarki kepegawaian.
7. Setiap gurunya hendaknya bersikap toleran dalam menyelesaikan setiap persoalan yang timbul atas dasar musyawarah dan mufakat demi kepentingan bersama.
8. Jalinan hubungan antara seorang guru dengan atasannya hendaknya selalu di arahkan untuk meningkatkan mutu dan pelayanan pendidikan yang menjadi tanggung jawab bersama.[9]
Prosedur Perkembangan dalam Kode Etik keguruan, yaitu:
1. Diadakan musyawarah antara guru, orang tua dan siswa untuk merumuskan pokok-pokok kode etik tersebut.
2. Pokok-pokok kode etik di buat oleh sekolah.
3. Hasil perumusan disebar luaskan kepada yang berkepentingan.
4. Pada saat-saat tertentu di adakan evakuasi yang kontinue.
5. Bila dipandang perlu, sewaktu-waktu di adakan perbaikan.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tugas kependidikan bukanlah suatu jenis pekerjaan yang dapat diserahkan begitu saja pada sembarang orang untuk melakukannya. Pekerjan itu, memerlukan keprofesionalan khusus yang sengaja dirancang untuk melakukannya. Oleh karena itu, tidak semua orang mampu melakukan tugas tersebut dan mampu memahami kuantitas dan kualitas tantangan yang harus dihadapi dan diatasi. Dengan demikian, hanya pendidiklah yang tahu persis kadar tantangannya, sehingga hanya mereka pulalah yang layak menyuarakannya kepada publik. Orang lain hanya mampu mencermati dari sisi luarnya saja, sehingga analisis terhadap kuantits dan kualitas tantangan kependidikan yang dipublikasikan kadang kurang tepat dan tidak menguntungkan bagi pihak pendidik.
Maka apa yang dilakukan pendidik selama ini merupakan penerapan dari kode etik keguruan yang hasilnya akan diberikan suatu penghargaan atau dengan kata lain Sertifikasi Guru.
B. Saran
Setelah melalui studi pustaka, banyak penafsiran-penafsiran serta pendapat yang berbeda dan itu semua tidak lepas dari sifat fitrah dari penulis sebagai manusia yang memiliki banyak keterbatasan. Jadi maklumlah kiranya, jika terdapat berbagai pendapat yang penulis simpulkan. Oleh semua itu, jika sampai terdapat beberapa perbedaan pendapat, tentunya bisa di pelajari. Maka, besar harapan kami adanya respon dari pembaca terhadap makalah ini. Selanjutnya kami ingin berterima kasih kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah sederhana ini. Syukron. . .
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Undang Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Bandung: Citra Umbara.
PP no 19 tahun 2005 tentang standard pendidikan nasional dan Peraturan Mendiknas nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan.
Setijadi, 1986, Defenisi Teknologi Pendidikan, Jakarta : CV. Rajawali.
Soealaeman, 1985, Menjadi Guru, Bandung : CV. Diponegoro.
Undang-undang No. 14 Tahun 2005, tentang Sistem Tenaga Kependidikan Nasional.
www.google.com. http://Sertifikasi_Guru/
[3] Anonim. 2003. Undang Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Bandung: Citra Umbara.
[4] PP no 19 tahun 2005 tentang standard pendidikan nasional dan Peraturan Mendiknas nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan.
[6] Ibid.
[9] Ibid., hal. 128.
[10] Ibid., hal. 131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar